Minggu, 02 November 2008

Kiat Menggapai Ketinggian

Bagaian Pertama
IRADAH

Sorang hamba yang menginginkan ketinggian di mata Allah SWT, sehingga ia menjadi orang yang dicintai-Nya, terlebih dahulu haruslah melewati apa yang dinamakan dengan iradah, yaitu keinginan (tekad) untuk meninggalkan apapun selain Allah. Iradah ini merupakan tahapan yang pertama sekali yang harus ia lalui dalam mencapai keinginannya tersebut.

Allah SWT berfirman, “dan janganlah engkau mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan petang hari, karena mencari keridhaan-Nya....,” (QS. Al-An`am [6]: 52) dan, “dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya diagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini.” (QS. Al-Khafi [18]: 28).

Melalui ayat-ayat diatas, Allah SWT telah memerintahkan nabi-Nya untuk mengusir dan menjauhi orang-orang yang melakukan iradah tersebut, dan memerintahkannya untuk bersabar menghadapi mereka dengan baik. Sebab, tujuan mereka hanya satu, yaitu mencari keridhaan-Nya.


Orang yang sedang menjalani roses iradah ini – disebut dengan murid – haruslah senantiasa menghadap kepada-Nya dan berpaling dari selain-Nya, serta memperhatikan segala perintah dan larangan-Nya yang tertuang di dalam Al-Qur`an dan Sunnah. Allah-lah satu-satunya yang menjadi tujuan dan kecintaannya. Rasulullah Saw bersabda, “kecintaanmu pada sesuatu dapat membuatmu menjadi buta (dari melihat selain-Nya) dan menjadi tuli (dari mendengar selainnya).

Seseorang tidak akan mencintai sesuatu melainkan setelah menginginkannya, tidak akan menginginkannya melainkan setelah keinginannya itu tulus baginya, tidak akan tulus keinginannya itu melainkan setelah membakar apapun yang ada dihatinya. Allah SWT berfirman, “.....Sesungguhnya raja-raja apabila memasuki suatu negeri, mereka membinasakannya, dan menjadi penduduknya yang mulia menjadi hina....” (QS. An-Naml [27]: 34) sebagaimana dikatakan bahwa perasaan cinta yang medalam itu akan dapat menyebabkan entengnya segala persoalan yang berat.

Dengan demikian, ia akan selalu merasa nyaman bila “berdua” dengan Allah, bersabar meninggalkan segala pantangan-Nya, melaksanakan segala perintah-Nya dan merasa malu dihadapan-Nya. Ia juga akan mengarahkan segenap kemampuannya untuk mencintai-Nya dan menggunakan semua cara yang dapat menyampaikannya kepada golongan orang-orang yang dicintai-Nya. Jika sudah demikian adanya, maka sampailah ia (si murid itu tadi) kesebuah derajat yang disebut dengan murad (orang yang dikehendaki oleh Allah).
Orang yang telah sampai ke derajat murad ini, beban apapun yang menghalanginya saat menempuh jalan kebenaran akan terasa ringan baginya. Sebab, ia telah dekat dengan Allah SWT lantaran diberi rahmat dan kasih sayang, serta ma`rifat dan ketenangan jiwa oleh-Nya. Bahkan ia diberi kemampuan oleh Allah untuk mengetahui apa-apa yang tidak diketahui oleh orang lain. Kalau sudah demikian, maka setiap kata-kata yang dikeluarkannya akan mengandung hikmah, dan ia pun menjadi disegani oleh orang-orang lain.

Orang yang seperti ini akan menjadi kepercayaan dan saksi Allah SWT di bumi ini. Dalam sebuah hadits Qudsi, Allah SWT berfirman, “Tiadalah cara yang paling baik bagi Hamba Ku untuk mendekat kepada-Ku melainkan dengan melakukan amal-amal wajib. Dan sungguh apabila Hamba-Ku juga senantiasa mendekat kepada-Ku dengan melakukan amal-amal sunnah (disamping amal-amal wajib tersebut), maka Aku akan mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, maka jadilah Aku pendengaran, penglihatan, lisan, tangan, kaki, dan hatinya. Sehingga, ia akan mendengar dengan pendengaran-Ku, melihat dengan penglihatan-Ku, berbicara dengan lisan-Ku, berpikir dengan pikiran-Ku, dan bertindak dengan tindakan-Ku”.

Itulah hamba yang benar-benar mempergunakan pikirannya, dan hawa nafsunya menjadi terendam oleh genggaman Allah SWT, sehingga hatinya menjadi khazanah (kekayaan)-Nya.

Perlu diketahui bahwa ketinggian ini tidak akan terwujud melainkan atas kehendak Allah SWT jua. Sebab, sekiranya Ia sendiri tidak menginginkan seseorang mendapatkan ketinggian tersebut, tentulah Ia tidak mendatangkan keinginan untuk mendapatkannya pada hati orang tersebut. Ketinggian ini mutlak karunia dan rahmat Allah SWT terhada hamba-Nya.

Perbandingan antara murid (orang yang berusaha mencapai ketinggian di sisi Allah) dan murad (orang yang telah mendapatkan ketinggian tersebut) dapat digambarkan sebagai berikut:

1. Murid adalah pemula, sedangkan murad adalah orang yang telah menjadi ahlinya;
2. Murid adalah pencari, seedangkan murad adalah yang dicari;
3. Murid memandang amalnya sebagai usaha untuk mendapatkan ketinggian, sedangkan murad tidak memandangnya melainkan sebagai taufiq dan karunia dari-Nya;
4. murid menempuh suatu jalan, sedangkan murad berada diatas semua jalan;
5. murid memandang dengan cahaya Allah, sedangkan murad memandang dengan Allah itu sendiri;
6. murid melaksanakan perintah Allah, sedangkan murad melaksanakan perbuatan Allah itu sendiri;
7. murid berusaha menentang hawa nafsunya, sedangkan murad berlepas diri dari hawa nafsunya itu;
8. murid berusaha mendekat keada Allah, sedangkan murad telah berada di dekat-Nya;
9. murid adalah orang yang terelihara dari gangguan jin (setan), sedangkan murad adalah orang yang si murid menjadi terpelihara karenanya.

Imam Junaid al-Baghdadi mengatakan, “murid adalah orang yang dituntun oleh strategi ilmu, sedangkan murad adalah orang yang dituntun oleh penjagaan Allah”.

Demikian halnya yang terjadi antara mutashawwif (calon sufi) dengan sufi (orang sufi itu sendiri), dimana mutashawwif adalah orang yang berkeinginan untuk menjadi seorang sufi sehingga ia berusaha keras ke arahnya, sedangkan sufi – sesuai dengan makna katanya, yakni orang yang suci – adalah orang yang suci dari penyakit-penyakit jiwa, terbebas dari sifat-sifat tercela, senantiasa menempuh jalan kebenaran, dan tidak menggantungkan hatinya kepada mahluk. Ada yang mengatakan bahwa tasawuf itu adalah jujur kepada Allah dan baik kepada mahluknya.

Maka mutashawwif adalah pemula, sedang sufi adalah orang yang telah menjadi ahlinya, mutashawwif adalah orang yang sedang menempuh jalan menuju kesucian, sedangkan sufi adalah orang yang telah berhasil menempuhnya, dan mutashawwif adalah orang yang sedang menanggung beban untuk meraih cita-titanya, sedangkan sufi adalah orang yang telah melalui beban tersebut.

Seorang mutashawiif haruslah menanggung segala bebannya itu, berat atau ringan, untuk sampai kepada derajat kesufian. Hal itu dimaksudkan agar hawa nafsunya dan kehendak-kehendaknya bisa dikendalikannya dengan baik, sehingga jiwanya menjadi bersih dan mampu menjadi sumber ilmu dan hikmah, tempat yang penuh keamanan dan kemenangan, guanya para wali dan orang-orang shaleh, tempat melabuhnya pandangan yang memberikan kenyamanan dan ketenteraman. Dengan kualifikasi ini, ia akan menjadi permata dalam kalung, mutiara dalam mahkota, dan tempat untuk memandang Tuhan.

Seorang murid yang mutashawwif adalah orang yang selalu berjuang mengendalikan dirinya dari cengkraman hawa nafsu, setan, dan mahluk-mahluk lainnya, yang dapat menghalanginya untuk mewujudkan keinginannya. Ia akan selalu beribadah kepada Allah di mana pun dan dalam kondisi apapun. Bahkan, ibadahnya bukan lagi untuk mendapatkan surga, melainkan untuk mendapatkan keridhaan-Nya. Dengan sikap seperti ini, ia akan keluar dari tipu daya duniawi dan terbebas dari fenomena-fenomenanya yang menyesatkan, seperti harta, keluarga dan anak-anak sekalipun.

Ia juga akan berbuat laksana seorang Alim yang mengetahui betul apa-apa yang telah dan akan terjadi, mengetahui yang lahir dan yang batin. Ia akan menjadi dekat dengan Allah dan akan memperoleh ketenangan jiwa karenanya. Kepadanya akan dibukakan tabir penghalang antara dirinya dengan Tuhan.

Ia akan menyerahkan jiwa raganya untuk Allah dan akan selalu siap untuk menerima apapun yang timbul dari-Nya. Ia tidak memerlukan persemedian lagi karena persemedian itu hanyalah untuk orang-orang yang belum dekat dengan-Nya. Ia adalah ibarat anak kecil yang tidak akan makan melainkan jika disuapin dan tidak akan berpakaian melainkan dengan dipakaikan pakaian kepadanya.

Secara lahir, ia sama seperti mahluk lainnya karena terdiri dari jasad dan ruh, namun pada hakikatnya mereka jauh berbeda dari mereka lantaran ia berperangai, berinsting dan berniat yang betul-betul lain dari mereka. Ia disebut dengan sufi (orang yang bersih) karena hatinya telah dibersihkan oleh Allah SWT dari sifat-sifat kejelakan mahluk. Allah SWT telah mengeluarkannya dari kegelapan menuju cahaya serta menjadi pelindung baginya. Ia berfirman, “Allah adalah pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman)” (QS. Al-Baqarah [2]: 257) jika sudah demikian adanya, maka nafsu maupun setan tidak akan mampu mengelincirkannya dari kebenaran. Allah SWT berfirman, “sesungguhnya hamba-hamba-Ku tidak ada kekuasaan bagimu (Iblis) terhadap mereka, kecuali orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang sesat,” (QS. Al-Hijr [15]: 42) “...demikianlah agar Kami memalingkan kemungkaran dan kekejian daripadanya. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih,” (QS. Yusuf [12]: 24)

Maka, Allah SWT akan menjaganya, mengendalikan hawa nafsu angkara murkanya, meneguhkan kedudukannya, serta memberi taufiq kepadanya, setelah mereka benar-benar telah berlaku jujur pada setiap langkahnya, sabar dalam setiap menghadapi ujian hidupnya, selalu menjalankan syari`at-Nya, dan menjalani proses penyucian diri. Maka menjadi sempurnalah baginya tingkat kewalian. Ia berfirman, “....dan Dia melindungi orang-orang shaleh.” (QS. Al-A`raf [7]: 196)

Allah SWT akan menjadikannya Sibuk dengan-Nya dari apapun selain-Nya, berada dalam genggaman-Nya, menguasai pikirannya, dan menjadikannya sebagai orang-orang terercaya di sisi-Nya. Sehingga ia akan selalu mendapat penjagaan dari-Nya dan hidup dalam lapangan tauhid dan rahmat-Nya. Ia tidak akan sibuk melainkan dengan amalan-amalan yang diridhai-Nya, dan dalam kesibukannya itu, ia tidak akan dapat diganggu oleh setan dan hawa nafsunya. Maka, bersihlah amalan-amalan lahirnya dari gangguan setan, dan sucilah hatinya dari sifat-sifat riya`, munafiq, `ujub, dan syirik.

Allah SWT berfirman dalam sebuah hadist Qudsi, “tiadalah cara yang paling baik bagi hamba-Ku untuk mendekat kepada-Ku melainkan dengan melakukan amalan-amalan wajib. Dan sungguh apabila hamba-Ku juga senantiasa mendekat kepada-Ku dengan melakukan amalan-amalan sunnah (di samping amal-amal wajib tersebut) maka Aku akan menyintainya. Jika Aku telah menyintainya, maka jadilah Aku pendengaran, penglihatan, lisan, tangan, kaki, dan hatinya. Sehingga, ia akan mendengar dengan pendearan-Ku, melihat dengan penglihatan-Ku, berbicara dengan lisan-Ku, berpikir dengan pikiran-Ku, dan bertindak dengan tindakan-Ku.”

Hadist Qudsi ini, yang juga telah kami sebutkan sebelumnya, adalah dasar dari kedudukan ini, dimana hati hamba itu telah dienuhi oleh rasa cinta kepada Allah, dan kepada cahaya, ilmu, dan ma`rifat-Nya, dan tidak terdapat selain itu di dalamnya.

Pernah suatu ketika, nabi Musa berdoa kepada Allah SWT, “wahai Tuhan, dimanakah Engkau? Allah menjawabnya, wahai Musa! Rumah manakah yang akan muat menampung-Ku, dan tempat manakah yang akan sanggup menanggung beban-Ku? Jika engkau masih ingin juga mengetahui di mana Aku, maka sesungguhnya Aku berada di dalam hati orang yang meninggalkan, berpisah, lagi suci.” Maksudnya adalah orang yang berkerja keras meninggalkan segala sesuatu selain Allah, lalu mendapat anugrah dari-Nya berupa kedudukan yang tinggi sebagai balasan atas pemenuhan segala kewajiban serta amalan-amalan sunnah sehingga ia berpisah sama sekalian dengan selain-Nya itu dan suci daripadanya (tidak berpaling sedikitpun kepada selain-Nya).

Inilah tingkatan yang paling tinggi yang bisa diperoleh oleh seorang wali. Tingkatan yang lebih tinggi lagi dari itu tidak bisa ia dapatkan, karena itu hanya diperuntukkan bagi para nabi dan rasul. Sebab, akhir tingkatan wali adalah awal bagi nabi.

Wali bukanlah seorang nabi. Nabi adalah orang yang menerima kalam (wahyu) dari Allah melalui malaikat Jibril. Ini wajib diyakini kebenarannya, dan menjadi kafir jika mengingkarinya, sedangkan wali hanyalah seorang hamba Allah yang ucapannya dikuasai oleh Allah melalui ilham dari-Nya, sehingga sehingga ia mempunyai kata-kata hikmah. Maka dari itu, wahyu adalah untuk para nabi, sedangkan kata-kata hikmah adalah untuk para wali; mengingkari wahyu akan menyebabkan kekafiran, sedangkan mengingkari kata-kata hikmah hanyalah menyebabkan kerugian.

Diambil dari buku “Wasiat terbesar sang guru besar / asy-Syaikh ‘abdul Qadir al-jilani” dengan judul asli “Al-Ghuniyyah li Thalibi Thariq al-Haq”.
Penerjemah, Abad Badruzzaman & Nunu Burhanuddin;
penyunting Tim Sahara

5 komentar:

Anonim mengatakan...

Trima kasih ya informasinya semoga bermanfaat buat orang banyak.
Setiap manusia dalam upaya mendekatan diri kepada Allah memang sangat ragam dan variatif amal solehnya dengan petunjuk Alquran & hadits.
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.” (Al 'Alaq;[96]1-2)
“man arofa nafsahu faqod arofa robbahu”
“Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, maka pasti kamu akan menemui-Nya”. ( QS. Al Insyiqaaq'; [84]:6)
"Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan satu jua pun dalam beribadat kepada Tuhannya.". (QS. Al Kahfi [18]: 110)
“Tiadalah cara yang paling baik bagi hamba-KU untuk mendekat kepada-KU melainkan dengan melakukan amalan-amalan wajib. Dan sungguh apabila hamba-KU juga senantiasa mendekat kepada-KU dengan melakukan amalan-amalan sunnah (di samping amal-amal wajib tersebut) maka AKU akan menyintainya. Jika AKU telah menyintainya, maka jadilah AKU pendengaran, penglihatan, lisan, tangan, kaki, dan hatinya. Sehingga, ia akan mendengar dengan pendengaran-KU, melihat dengan penglihatan-KU, berbicara dengan lisan-KU, berpikir dengan pikiran-KU, dan bertindak dengan tindakan-KU.” (hadist Qudsi)

“aroftu robbi bi robbi”.
Apakah mahabbah itu puncaknya maqom? Tentunya wong alit lebih tau dari saya, trima kasih ya…, sebelum dan sesudahnya saya mohon maaf.
Sekian dan wassalam

Anonim mengatakan...

Tambahan.

adalah cinta sejati
cinta yang abadi
ia ada dalam diri
tidak terpengaruhi oleh datang dan perginya sesuatu
karena aroftu robbi bi robbi
.....................

maksudnya sbb.

adalah cinta sejati cinta yang abadi
hakikat adalah laa illa ha illallah

dalam penciptaanya insan
manusia dibekali dengan kefitrahan
yang senantisa selaras dengan Allah

kefitrahan tubuh dibekali dengan syariat
kefitrahan ruh dibekali dengan ma’rifat
alastu birobbikum qoluu bala syahidna

lalu dimana cinta sejati?

“Tidak dapat memuat zat-Ku bumi dan langit-Ku, kecuali 'hati' hamba-Ku yang mukmin lunak dan tenang”. (HR. Abu Dawud)

ketika hati seorang hamba sudah seperti diatas, maka:

“Tiadalah cara yang paling baik bagi hamba-KU untuk mendekat kepada-KU melainkan dengan melakukan amalan-amalan wajib. Dan sungguh apabila hamba-KU juga senantiasa mendekat kepada-KU dengan melakukan amalan-amalan sunnah (di samping amal-amal wajib tersebut) maka AKU akan menyintainya. Jika AKU telah menyintainya, maka jadilah AKU pendengaran, penglihatan, lisan, tangan, kaki, dan hatinya. Sehingga, ia akan mendengar dengan pendengaran-KU, melihat dengan penglihatan-KU, berbicara dengan lisan-KU, berpikir dengan pikiran-KU, dan bertindak dengan tindakan-KU.” (hadist Qudsi)

Wassalam dan mohon koreksinya ya...

roxyfoxy_84 mengatakan...

wah. pas ngebaca perbandingan murid sm murad jd bikin terkesima dan berpikir lagi posisi saya ada dimana...

PM mengatakan...

MOHON MAAF.. cuman sekedar berbagi info mengenai
CARA BARU ISI ULANG PULSA HP ANDA DAN KELUARGA

LEBIH PRAKTIS, (tidak perlu repot2 lagi datang ke counter pulsa)
LEBIH MURAH, ( bila dibandingkan harga jual pulsa di counter pulsa)
BONUS PULSA Rp. 25.000 SETIAP HARI

info lanjut di HTTP://WWW.PRIMAMITRA.BLOGSPOT.COM

Wira mengatakan...

Wah berat2 nih ... masih belum bisa meninggalkan duniawi ... masih berusaha untuk bisa ikhlas, ikhlas dan ikhlas atas kehendakNya