Minggu, 13 Juli 2008

Beberapa Kewajiban Bagi Para Pencari Ketinggian

3. Kewajiban Guru Terhadap Murid

Seorang guru wajiblah mengajar muridnya karena Allah semata – bukan karena yang lain – sehingga ia berbuat dengan penuh nasehat kepadanya, dan memperlakukannya dengan penuh kasih sayang, dan bersikap ramah kepadanya pada saat ia tidak mampu menanggung beban latihan yang ia berikan kepadanya. Ia harus bersikap kepadanya seperti seorang ibu, atau ayah yang penyayang, terhadap anaknya.

Ia harus mengawali pendidikannya dengan hal-hal yang paling ringan terdahulu, kemudian baru – lah meningkat kepada yang lebih berat dari itu.

Pertama kali, ia menyuruhnya untuk meninggalkan memperturutkan hawa nafsu dalam segala urusannya, diganti dengan mengikuti rukhash – bentuk jama` dari rukhsakh – (keringanan-keringanan) yang diberikan oleh syari`at, agar ia bisa terlepas dari kungkungan hawa nafsunya itu dan hanya terkait dengan syari`at Allah. Setelah itu, beralih secara berlahan kepada perintah untuk memiliki `azimah (tekad yang kuat) untuk meninggalkan kedua-duanya (hawa nafsu dan rukhshah). Jika ternyata ia lihat si murid telah mampu sampai ke tahap `azimah ini, baru-lah ia melanjutkannya kepada tingkat yang lebih tinggi lagi.


Ia (sang guru) tidak selayaknya berkeinginan untuk memamfaatkan sesuatu yang bersifat duniawi dari muridnya, seperti hartanya dan lain-lain. Juga tidak layak untuk mengharap-harap balasan dari Allah sebagai kompensasi dari pendidikan dan pengajaran yang ia berikan kepadanya. Akan tetapi, semua itu ia lakukan hanyalah demi mengharap ridha-Nya, dan menuruti perintah-Nya. Sebab, murid itu datang kepadanya bukanlah semata-semata keinginannya, melainkan karena kehendak Allah jua agar ia mendapatkan ilmu dan hidayah melalui dirinya. Dan itu merupakan hadiah atau amanah dari – Nya yang harus ia terima dan ia laksanakan dengan sebaik-baiknya. Maka janganlah ia sampai memamfaatkan tenaga atau hartanya kecuali dengan izin Allah, yakni atas pemberian murid itu kepadanya; bukan atas permintaannya sendiri. Pemberian tersebut hendaklah diterimanya, dan tidak layak ia menolaknya.

Ia tidak boleh memilih sendiri murid yang akan dididiknya, melainkan menunggu sampai ia datang sendiri kepadanya. Barangsiapa yang Allah datangkan seorang murid kepadanya tanpa dimintanya, maka itu berarti bahwa Allah setuju ia yang menjadi guru bagi orang itu. Oleh sebab itu, hendaklah ia menjauhi hawa nafsu dalam mendidiknya sehingga ia kehilangan berkah dari Allah.

Ia juga harus senantiasa menjaga rahasia-rahasia muridnya, dan tidak memberitahukan kepada orang lain tentang kelebihan-kelebihan yang telah diperoleh oleh muridnya itu, sebab itu merupakan amanah baginya. Ia haruslah menjadi tempat beristirahat, tempat menyimpan rahasia, dan tempat merujuk baginya, serta berfungsi sebagai motivator, penunjuk, penegar semangatnya, dan pengawasannya dalam menempuh pendidikannya.

Jika ia melihat suatu pelanggaran syari`at dari muridnya, seperti meninggalkan kewajiban pokok atau cabang, mendakwakan suatu kelebihan yang sebenarnya tidak ada padanya, atau membanggakan diri sendiri, maka hendaklah ia menasehatinya dengan bijaksana, dan melarangnya untuk mengulanginya.

Dan jika ia bermaksud memberikan nasehat kepada seluruh muridnya, maka hendaklah ia mengumpulkan seluruhnya, lalu menyampaikan hal itu kepada mereka secara umum, bukan menunjuk batang hidung orang yang bersangkutan dihadapan teman-temannya. Misalnya ia berkata kepada mereka, “Sungguh telah sampai informasi kepadaku bahwa diantara kalian ada yang begini begitu,” Menunjuk langsung kepada pelaku pelanggaran, dikhawatirkan akan menyebabkan orang itu menjadi lari darinya, ataupun muncul sikap sakit hati dan dendam darinya.

Seandainya semua kewajiban ini terasa tidak mampu baginya untuk dilaksanakan, maka lebih baik ia melepaskan kedudukannya sebagai guru, lalu sibuk memperbaiki diri sendiri, sampai ia benar-benar mampu melaksanakan kewajiban-kewajiban tersebut. []

Diambil dari buku “Wasiat terbesar sang guru besar / asy-Syaikh ‘abdul Qadir al-jilani” dengan judul asli “Al-Ghuniyyah li Thalibi Thariq al-Haq”.
Penerjemah, Abad Badruzzaman & Nunu Burhanuddin;
penyunting Tim Sahara

Tidak ada komentar: