Minggu, 03 Maret 2013

Orientasi Bekerja Keras "Akherat dan Dunia"

oleh wirawan Feb 11 05:59AM +0700

Bekerja Keras untuk Membangun Rumah di Surga

Masihkah telinga kita pekak dan tuli sehingga tidak mampu mendengar

tawaran Allah

Jum'at, 01 Februari 2013
  

Oleh: *Shalih Hasyim
 
*SAAT  ini kita sedang hidup di zaman yang mengikuti paham campur aduk. Inilah kehidupan sekuler yang menceraikan antara hubungan makhluk dari Sang Khalik. Saat ini, di mana kita hidup dengan standar/ukuran/barometer yang didasarkan pada materi yang dimiliki dan dikuasai. Semua aspek kehidupan kita telah dijangkiti virus materialisme yang membahayakan.

Bahkan virus materialisme telah pula menggerogoti kehidupan beragama kita. Hampir sulit kita temukan aktivitas keagamaan, seperti ibadah, dakwah, sosial, pendidikan, politik dan sebagainya yang tidak digerogoti oleh materialisme. Inti semua itu adalah bergesernya standar nilai dan kemuliaan dari keimanan, ketakwaan dan akhlak mulia, kepada materi dan status sosial. Padahal yang pailing mulia di sisi Allah adalah orang yang paling baik kualitas taqwanya.
 
Materialisme ini telah melahirkan dampak/efek negatif dalam banyak kehidupan kita seperti, perlombaan hidup dan persaingan yang tidak sehat, serakah, sombong dan dengki, termasuk dalam keluarga sehingga isteri tidak percaya dan hormat lagi pada suami, anak kepada orang tua, putus hubungan atara saudara dan karib kerabat. Yang lebih dahsyat lagi, materialisme telah mendorong tindakan kejahatan ekonimi seperti, korupsi, kolusi, nepoteisme, monopli, kecurangan dalam timbangan, takaran, ukuran, kualitas dan sebagainya.

Demikian pula materialisme melahirkan sifat membabi buta dalam mencari kebutuhan hidup dan sarana kehidupan sehingga tidak peduli halal atau haram, berfoya-foya dalam menikmati kehidupan dunia, mubazir, tidak jujur dalam bekerja dan berbisnis, egois, rakus terhadap harta, pelit, tidak mau peduli terhadap nasib kaum fakir dan miskin, sombong, angkuh dan bahkan sampai ke tingkat mempertuhankan harta benda. Pikiran dan jiwa berbalik arah. Dengan kerja keras, seakan-akan kepala jadi kaki, kaki jadi kepala.

Hati juga berubah orientasi, tujuan dipandang sarana dan sarana dipandang tujuan. Maka, tidak heran jika materialisme ini telah pula melupakan kita dari kehidupan akhirat yang merupakan tempat kembali dan tempat tinggal kita yang hakiki lagi abadi/permanen.

Materialisme adalah penyakit yang tersembunyi dalam diri kita sendiri. Sumbernya adalah *syahwat *(keinginan-keinginan bersifat duniawi). Ia akan tumbuh subur dan bahkan dapat mengendalikan diri kita jika kita tidak mampu mengelola dan mengendalikan syahwat tersebut. Memang, terkadang pemicunya bisa saja faktor luar seperti lingkungan keluarga atau *life syle (*gaya hidup) materialisme dan konsumtif yang berkembang dalam masyarakat. 

Pada umunya ada tiga macam syahwat dunia yang tertanam dalam diri kita yang harus selalu diwasapadai dan dikendalikan, syahwat kepada anak keturunan, yakni *syahwatul bathn *(syahwat perut) dan syahwatul farj (syahwat di bawah perut, kemaluan).
 

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاء وَالْبَنِينَ

وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ

الْمُسَوَّمَةِ وَالأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ

الدُّنْيَا وَاللّهُ عِندَهُ حُسْنُ الْمَآبِ

 
*“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang lebih baik (surga).” *(QS: Ali Imran (3): 14)

 
Dari ayat tersebut kita dapat memetik pelajaran penting, apabila ketiga syahwat tersebut telah menjadi tujuan hidup kita sehingga melupakan pada balasan Allah di akhirat, maka ingatlah, saat itu berarti kita sudah dikuasasi dan dikendalikan olehnya. Inilah musuh yang paling berat, karena tidak terlihat secara kasat mata/abstrak. Awalnya memang bisa hanya sekedar kesenangan dan kecintaan biasa sebagai manusia. Namun, lama kelamaan bisa berubah menjadi orientasi hidup duniawi semata, dan kemudian dengan tidak disadari bisa meningkat dan berubah menjadi ketergantungan/ Tuhan yang disembah dan ditaati. Betapa ironis saat ini, tidak sedikit kita jumpai orang-orang yang menjadikan wanita, anak-anak dan harta menjadi tandingan Allah.

Bagi orang-orang semacam ini, mereka tidak akan pernah mau peduli halal atau haram. Yang penting mereka meraih apa yang mereka inginkan dari wanita, anak dan harta. Wanita, anak-anak dan harta telah melalaikan dan memperdayakan mereka dari mengingat Allah *Subhanahu Wata'ala*. Wanita, anak-anak dan harta telah memalingkan mereka dari jalan hidup yang Allah ciptakan untuk mereka. Dengan tanpa disadari, mereka membangkang kepada Allah, kepada Rasulullah dan kepada ajaran Islam yang Allah turunkan dan Rasulullah ajarkan untuk menyelamatkan dan membahagiakan kehidupan mereka di dunia dan sekaligus di akhirat kelak.
 
Agar hidup kita di dunia yang sementara dan fana ini tidak menjadi hamba syahwat dan kesenangan dunia, pada ayat berikutnya Allah menawarkan kepada kita suatu kehidupan yang lain dan balasan akhirat yang jauh lebih baik dan lebih dahsyat dari apa saja yang mungkin kita peroleh di dunia ini.
 

قُلْ أَؤُنَبِّئُكُم بِخَيْرٍ مِّن ذَلِكُمْ لِلَّذِينَ اتَّقَوْا عِندَ

رَبِّهِمْ جَنَّاتٌ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا

وَأَزْوَاجٌ مُّطَهَّرَةٌ وَرِضْوَانٌ مِّنَ اللّهِ وَاللّهُ بَصِيرٌ

بِالْعِبَادِ
 

*"Katakanlah: "maukah aku kabarkan kepadamu apa yang lebih baik dari yang demikian itu?." Untuk orang-orang yang bertaqwa (kepada Allah), pada sisi Tuhan mereka ada surga yang mengalir dibawahnya sungai-sungai; mereka kekal didalamnya. Dan (mereka dikaruniai) isteri-isteri yang disucikan serta keridhaan Allah. Dan Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya.” *(QS: Al Imran: 15)

Inilah tawaran Allah Subhanahu Wata'ala pada kita semua. Masihkah mata kita buta sehingga tidak dapat membedakan antara kenikmatan dunia yang sementara (*mata’*) dan tidak seberapa dengan kenikmatan akhirat dan surga yang sangat luar biasa (nikmat)? Masihkah hati kita keras bagaikan batu sehingga tidak mampu meyakini kebenaran tawaran Allah Subhanahu Wata'ala itu?

Masihkah telinga kita pekak dan tuli sehingga tidak mampu mendengar tawaran Allah itu denga baik? Masihkan pikiran kita picik dan sempit sehingga tidak bisa mencerna dan memahami tawaran dan janji Allah yang maha dahsyat itu?
 
Jika panca indera kita mengalami disfungsi, berarti diri kita menjadi anggota tetap neraka jahannam.

 
وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيراً مِّنَ الْجِنِّ وَالإِنسِ لَهُمْ

قُلُوبٌ لاَّ يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لاَّ يُبْصِرُونَ بِهَا

وَلَهُمْ آذَانٌ لاَّ يَسْمَعُونَ بِهَا أُوْلَـئِكَ كَالأَنْعَامِ بَلْ هُمْ

أَضَلُّ أُوْلَـئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ
 

*"Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah orang-orang yang lalai." *(QS: Al Araf (7):179).

Bahkan, kita akan dijuluki oleh Allah sebagai sejelek-jelek makhluk di muka bumi ini.
 
وَلاَ تَكُونُواْ كَالَّذِينَ قَالُوا سَمِعْنَا وَهُمْ لاَ يَسْمَعُونَ
 
*“Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang (munafik) vang berkata "Kami mendengarkan, padahal mereka tidak mendengarkan. Sesungguhnya binatang (makhluk) yang seburuk-buruknya pada sisi Allah ialah, orang-orang yang pekak dan tuli yang tidak mengerti apa-apapun.“* (QS: Al Anfal (8) :21-22).

**

*Tuli* yang dimaksudkan, mereka mendengarkan tapi hati mengingkarinya. Maksudnya , manusia yang paling buruk di sisi Allah ialah yang tidak mau mendengar, menuturkan dan memahami kebenaran.
 
Sebuah fakta yang tak terbantahkan yang selalu kita saksikan bahwa setiap individu dan komunitas memiliki masa ajal. Jabatan juga ada masa pensiun. Harta juga ada masa kepemilikannya. Karena, pada hakikatnya semua yang kita miliki hanya sebagai hak pakai, hak guna, titipan-Nya. Pemilik sejati, hanyalah Allah. Jika ajal sudah datang, tidak bisa digeser jadualnya sedikitpun. Saat kematian tiba, tak ada lagi manfaat harta, anak, isteri, teman, handai tolan, pangkat, jabatan, karir dan apa saja yang kita miliki di dunia ini. Semuanya akan kita tinggalkan. Rumah mewah tidak lagi berguna. Orang yang tidak memahami kesementaraan dunia dan keabadian akhirat, akan tertipu.

اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ

وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلَادِ كَمَثَلِ

غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرّاً

ثُمَّ يَكُونُ حُطَاماً وَفِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِّنَ

اللَّهِ وَرِضْوَانٌ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ

*“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” *(QS: Al Hadid (57) : 20).*


*Penulis adalah kolumnis, tinggal di Kudus, Jawa Tengah

*Red: Cholis Akbar
* sumber Daarut Tauhid

Pentingnya Pendidikan Akidah Akhlak

Ahlus Sunnah wal Jama’ah atau Salafush Sholih (generasi terbaik dari umat Islam) bukan hanya mengajarkan prinsip dalam beraqidah saja, namun Ahlus Sunnah wal Jama’ah juga bagaimanakah berakhlaq yang mulia.

Itulah yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam haditsnya,

إِنَّمَا بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ صَالِحَ الأَخْلاَقِ

“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan baiknya akhlaq.” (HR. Ahmad 2/381, shahih)

Dalam suatu hadits shahih, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memanjatkan do’a,

اللّهُمَّ اهْدِنِى لأَحْسَنِ الأَخْلاَقِ لاَ يَهْدِى لأَحْسَنِهَا إِلاَّ أَنْتَ

“Allahummah-diinii li-ahsanil akhlaaqi, laa yahdi li-ahsaniha illa anta (Ya Allah, tunjukilah padaku akhlaq yang baik. Tidak ada yang dapat menunjuki pada baiknya akhlaq tersebut kecuali Engkau)” (HR. Muslim no. 771).

Maka sungguh sangat aneh jika ada yang mengklaim dirinya sebagai Ahlus Sunnah, namun jauh dari akhlaq yang mulia. Jika ia menyatakan dirinya mengikuti para salaf (generasi terbaik umat ini), tentu saja ia tidak boleh mengambil sebagian ajaran mereka saja. Akhlaqnya pun harus bersesuaian dengan para salaf. Namun sayang seribu sayang, prinsip yang satu inilah yang jarang diperhatikan. Kadang yang menyatakan dirinya Ahlus Sunnah malah dikenal bengis, dikenal kasar, dikenal selalu bersikap keras. Sungguh klaim hanyalah sekedar klaim. Apa manfaatnya klaim jika tanpa bukti?

Di antara bukti pentingnya akhlaq di sisi para salaf –Ahlus Sunnah wal Jama’ah-, mereka menjadikan masalah akhlaq sebagai ushul (pokok) aqidah dan mereka memasukkannya dalam permasalahan aqidah. Di antara ajaran akhlaq tersebut adalah:

[Pertama: Selalu mengajak pada yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar]
Ahlus Sunnah mengajak pada yang ma’ruf (kebaikan) dan melarang dari kemungkaran. Mereka meyakini bahwa baiknya umat Islam adalah dengan tetap adanya ajaran amar ma’ruf yang barokah ini. Perlu diketahui bahwa amar ma’ruf merupakan bagian dari syariat Islam yang paling mulia. Amar ma’ruf inilah yang merupakan sebab terjaganya jama’ah kaum muslimin. Amar ma’ruf adalah suatu yang wajib sesuai kemampuan dan dilihat dari maslahat dalam beramar ma’ruf. Mengenai keutamaan amar ma’ruf nahi mungkar, Allah Ta’ala berfirman,

كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” (QS. Ali Imron: 110)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيمَانِ

“Barangsiapa di antara kamu melihat kemungkaran hendaklah ia mencegah kemungkaran itu dengan tangannya. Jika tidak mampu, hendaklah mencegahnya dengan lisan. Jika tidak mampu juga, hendaklah ia mencegahnya dengan hatinya. Itulah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim no. 49)

[Kedua: Mendahulukan sikap lemah lembut dalam berdakwah dan amar ma’ruf nahi mungkar]
Ahlus Sunnah wal Jama’ah berprinsip bahwa hendaknya lebih mendahulukan sikap lemah lembut ketika amar ma’ruf nahi mungkar, hendaklah pula berdakwah dengan sikap hikmah dan memberi nasehat dengan cara yang baik. Allah Ta’ala berfirman,

ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (QS. An Nahl: 125)

[Ketiga: Sabar ketika berdakwah]

Ahlus Sunnah meyakini wajibnya bersabar dari kelakukan jahat manusia ketika beramar ma’ruf nahi mungkar. Hal ini karena mengamalkan firman Allah Ta’ala,

وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ

“Dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).” (QS. Luqman: 17)

[Keempat: Tidak ingin kaum muslimin berselisih]
Ahlus Sunnah ketika menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar, mereka punya satu prinsip yang selalu dipegang yaitu menjaga keutuhan jama’ah kaum muslimin, menarik hati setiap orang, menyatukan kalimat (di atas kebenaran), juga menghilangkan perpecahan dan perselisihan.

[Kelima: Memberi nasehat kepada setiap muslim karena agama adalah nasehat]

Ahlus Sunnah wal Jama’ah pun punya prinsip untuk memberi nasehat kepada setiap muslim serta saling tolong menolong terhadap sesama dalam kebaikan dan takwa. Hal ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

« الدِّينُ النَّصِيحَةُ » قُلْنَا لِمَنْ قَالَ « لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ ».

“Agama adalah nasehat. Kami berkata, “Kepada siapa?” Beliau menjawab, “Kepada Allah, kepada kitab-Nya, kepada Rasul-Nya dan kepada pemimpin kaum muslimin serta kaum muslimin secara umum.” (HR. Muslim no. 55)
 
[Keenam: Bersama pemerintah kaum muslimin dalam beragama]


Ahlus Sunnah wal Jama’ah juga menjaga tegaknya syari’at Islam dengan menegakkan shalat Jum’at, shalat Jama’ah, menunaikan haji, berjihad dan berhari raya bersama pemimpin kaum muslimin baik yang taat pada Allah dan yang fasik. Prinsip ini jauh berbeda dengan prinsip ahlu bid’ah.
 
[Ketujuh: Bersegera melaksanakan shalat wajib dan khusyu di dalamnya]


Ahlus Sunnah punya prinsip untuk bersegera menunaikan shalat wajib, mereka semangat menegakkan shalat wajib tersebut di awal waktu bersama jama’ah. Shalat di awal waktu itu lebih utama daripada shalat di akhir waktu kecuali untuk shalat Isya. Ahlus Sunnah pun memerintahkan untuk khusyu’ dan thuma’ninah (bersikap tenang) dalam shalat. Mereka mengamalkan firman Allah Ta’ala,

قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ (1) الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ (2)

“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam shalatnya.” (QS. Al Mu’minun: 1-2)

[Kedelepan: Semangat melaksanakan qiyamul lail]

Ahlus Sunnah wal Jama’ah saling menyemangati (menasehati) untuk menegakkan qiyamul lail (shalat malam) karena amalan ini adalah di antara petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Shalat ini pun yang diperintahkan oleh Allah kepada Nabinya shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau pun bersemangat untuk taat kepada Allah Ta’ala. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia menceritakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa menunaikan shalat malam. Sampai kakinya pun terlihat memerah (pecah-pecah). ‘Aisyah mengatakan, “Kenapa engkau melakukan seperti ini wahai Rasulullah, padahal Allah telah mengampuni dosa-dosamu yang lalu dan akan datang?”. Beliau lantas mengatakan,

أَفَلاَ أَكُونُ عَبْدًا شَكُورًا

“(Pantaskah aku meninggalkan tahajjudku?) Jika aku meninggalkannya, maka aku bukanlah hamba yang bersyukur.” (HR. Bukhari no. 4837)

[Kesembilan: Tegar menghadapi ujian]

Ahlus Sunnah wal Jama’ah tetap teguh ketika mereka mendapatkan ujian, yaitu bersabar dalam menghadapi musibah. Mereka pun bersyukur ketika mendapatkan kelapangan. Mereka ridho dengan takdir yang terasa pahit. Mereka senantiasa mengingat firman Allah Ta’ala,

إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ

“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS. Az Zumar: 10).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلاَءِ وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلاَهُمْ فَمَنْ رَضِىَ فَلَهُ الرِّضَا وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السَّخَطُ

“Sesungguhnya ujian yang berat akan mendapatkan pahala (balasan) yang besar pula. Sesungguhnya Allah jika ia mencintai suatu kaum, pasti Allah akan menguji mereka. Barangsiapa yang ridho, maka Allah pun ridho padanya. Barangsiapa yang murka, maka Allah pun murka padanya.” (HR. Tirmidzi no. 2396, hasan shahih)

[Kesepuluh: Tidak mengharap-harap datangnya musibah]

Ahlus Sunnah tidaklah mengharap-harap datangnya musibah. Mereka pun tidak meminta pada Allah agar didatangkan musibah. Karena mereka tidak tahu, apakah nantinya mereka termasuk orang-orang yang bersabar ataukah tidak. Akan tetapi, jika musibah tersebut datang, mereka akan bersabar. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تَتَمَنَّوْا لِقَاءَ الْعَدُوِّ ، وَسَلُوا اللَّهَ الْعَافِيَةَ ، فَإِذَا لَقِيتُمُوهُمْ فَاصْبِرُوا

“Janganlah kalian mengharapkan bertemu dengan musuh tapi mintalah kepada Allah keselamatan. Dan bila kalian telah berjumpa dengan musuh bersabarlah.” (HR. Bukhari no. 2966 dan Muslim no. 1742)

[Kesebelas: Tidak berputus asa dari pertolongan Allah ketika menghadapi cobaan]

Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak berputus asa dari rahmat Allah ketika mereka mendapati cobaan. Karena Allah Ta’ala melarang seseorang untuk berputus asa. Akan tetapi pada saat tertimpa musibah, mereka terus berusaha untuk mencari jalan keluar dan pertolongan Allah yang pasti datang. Mereka tahu bahwa di balik kesulitan ada kemudahan yang begitu dekat. Mereka pun senantiasa introspeksi diri, merenungkan mengapa musibah tersebut bisa terjadi. Mereka senantiasa yakin bahwa berbagai musibah itu datang hanyalah karena sebab kelakuan jelek dari tangan-tangan mereka (yaitu karena maksiat yang mereka perbuat). Mereka tahu bahwa pertolongan bisa jadi tertunda (diakhirkan) karena sebab maksiat yang dilakukan atau mungkin karena ada kekurangan dalam mengikuti petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ

“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri.” (QS. Asy Syura: 30).

Ahlus Sunnah tidak bersandar pada sebab-sebab yang baru muncul, kejadian duniawi atau bersandar pada peristiwa-peristiwa alam ketika mendapat ujian dan menanti datangnya pertolongan. Mereka tidak begitu tersibukkan dengan memikirkan sebab-sebab tadi. Mereka sudah memandang sebelumnya bahwa takwa kepada Allah Ta’ala, memohon ampun (istighfar) dari segala macam dosa dan bersandar pada Allah serta bersyukur ketika lapang adalah sebab terpenting untuk keluar segera mendapatkan kelapangan dari kesempitan yang ada.

[Keduabelas: Tidak kufur nikmat]

Ahlus Sunnah wal Jama’ah begitu khawatir dengan akibat dari kufur dan pengingkaran terhadap nikmat. Oleh karena itu, Ahlus Sunnah adalah orang yang begitu semangat untuk bersyukur pada Allah. Mereka senatiasa bersyukur atas segala nikmat, yang kecil atau pun yang besar. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

انْظُرُوا إِلَى مَنْ أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَلاَ تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ فَهُوَ أَجْدَرُ أَنْ لاَ تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ

“Pandanglah orang yang berada di bawahmu (dalam masalah harta dan dunia) dan janganlah engkau pandang orang yang berada di atasmu. Dengan demikian, hal itu akan membuatmu tidak meremehkan nikmat Allah padamu.” (HR. Muslim no. 2963)

[Ketigabelas: Selalu menghiasi diri dengan akhlaq yang mulia]

Ahlus Sunnah selalu menghiasi diri dengan akhlaq yang mulia dan baik. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا

“Orang mukmin yang sempurna imannya adalah yang baik akhlaqnya.” (HR. Tirmidzi no. 1162, Abu Daud no. 4682 dan Ad Darimi no. 2792, hasan shahih)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

إِنَّ مِنْ أَحَبِّكُمْ إِلَىَّ وَأَقْرَبِكُمْ مِنِّى مَجْلِسًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَحَاسِنَكُمْ أَخْلاَقًا

“Sesungguhnya di antara orang yang paling aku cintai dan yang tempat duduknya lebih dekat kepadaku pada hari kiamat ialah orang yang bagus akhlaqnya.” (HR. Tirmidzi no. 2018, shahih)

إِنَّ الْمُؤْمِنَ لَيُدْرِكُ بِحُسْنِ خُلُقِهِ دَرَجَةَ الصَّائِمِ الْقَائِمِ

“Sesungguhnya seorang mukmin akan mendapatkan kedudukan ahli puasa dan shalat dengan ahlak baiknya.” (HR. Abu Daud no. 4798, shahih)

مَا مِنْ شَىْءٍ يُوضَعُ فِى الْمِيزَانِ أَثْقَلُ مِنْ حُسْنِ الْخُلُقِ وَإِنَّ صَاحِبَ حُسْنِ الْخُلُقِ لَيَبْلُغُ بِهِ دَرَجَةَ صَاحِبِ الصَّوْمِ وَالصَّلاَةِ

“Tidak ada yang lebih berat dalam timbangan daripada akhlak yang baik, dan sesungguhnya orang yang berakhlak baik akan mencapai derajat orang yang berpuasa dan shalat.” (HR. Tirmidzi no. 2003, shahih)

Semoga yang singkat ini bermanfaat.

Referensi: Min Akhlaq Salafish Sholih, ‘Abdullah bin ‘Abdul Hamid Al Atsari, Dar Ibnu Khuzaimah.

Panggang-GK, 2 Jumadits Tsani 1431 H (15/05/2010)

baca juga Artikel (M. A. Tuasikal)

Jumat, 01 Maret 2013

INILAH AKU

Wahai hamba-Ku: Aku bagimu adalah sesuatu yang tak tersentuh oleh kedua mata dan telingamu, dan tidak jua oleh akal pikiranmu, maka pergilah engkau dengan rasa dan temui hatimu, dan masuklah ke dalam nuranimu serta menetaplah padanya, hingga Aku akan menemuimu dan berkata, Inilah Aku TuhanMu!

(INILAH AKU: Pencerahan Rohani bagi Pencari Tuhan dari Maulana Syaikh Muhammad Ali Hanafiah, Ahmad Rahman, Ed., Rabbani Press, Jakarta, 2012)


Kamis, 13 Oktober 2011

Contoh Kekeliruan Bertawakal

Dalam ranah praktek, banyak terjadi kerancuan dan penyimpangan dalam bertawakal. menurut Ibnu Qayyim Al-Jauziah dalam madariju al-salikin, kerancuan dan penyimpangan tersebut antara lain:
  1. Memaknai kepasrahan sebagai penyia-nyiaan. yakni membuang kesempatan dengan tidak berbuat apa-apa, bahkan malah menganggap sikap diam sebagai bentuk kepasrahan dan tawakal yang sempurna. menyia-nyiakan itu hak Allah, sedangkan kepasrahan adalah hak manusia.
  2. Mengartikan tawakan dengan kesantaian dan keengganan memikul beban, dengan menyakini bahwa tindakan itu merupakan wujud nyata dari tawakal. Padahal orang bertawakal hamba yang rajin bekerja. Tandanya, dia giat berusaha dan memanfaatkan segala peluang yang terbentang di depan mata. sementara, orang malas hanya bekerja sebatas mencukupi kebutuhan hidup dan memenuhi tuntutan syariat saja.
  3. Menganggap sama antara mengabaikan peluang dan menutup peluang. mengabaikan peluang masih berada diwilayah tauhid, sedangkan menutup peluang sudah berada diwilayah kekafiran. mengabaikan peluang berarti tidak menyadarkan hati, tidak bergantung dan tidak mengandalkan peluang tersebut. tetapi, menutup peluang berarti membuat anggota badan diam dan pasrah.
  4. Menganggap sama antara keyakinan atas rahmat Allah SWT, dan kepasrahan. padahal orang yang meyakini rahmat Allah pasti melaksanakan pertintah-Nya, baru kemudian memasrahkan urusan hasil kepada-Nya. dia menabur benih dan mengairi ladang terlebih dahulu, baru kemudian memasrahkan urusan hasil panen kepada-Nya. sementara, orang yang salah dalam memasrahkan diri adalah mereka yang diam lalu berharap Allah akan memberi mereka hasil . ingat, keyakinan atas rahmat ini hanya bisa dibenarkan setelah anda berusaha.
  5. Menganggap sama antara ketenteraman bersandar kepada Allah dengan bersandar kepada sesuatu selain-Nya. hanya orang cerdas yang bisa membedakan kedua jenis ketergantungan ini. sayangnya, tanpa sadar, kebanyakan mutawakil bersandar kepada sesuatu, kemudian merasa dirinya sudah bertawakal kepada Allah. tandanya, tatkala sesuatu itu habis atau sirna, timbul rasa takut dan gelisah dalam hati orang tersebut. contohnya, terkandung dalam kisah Abu Sulaiman al-Darani, ketika beberapa hari dia melihat seorang laki-laki di Mekah tidak mengonsumsi apa pun selain air zam-zam. Abu sulaiman bertanya kepadanya, "bagaimana pendapat mu, jika sumur zam-zam ini kering? apa yang akan engkau minum?" orang itu langsung berdiri, mencium kening abu sulaiman dan berkata, "semoga Allah membalas kebaikan mu karena engkau telah memberi ku petunjuk. karena sungguh, aku telah menyembah zam-zam selama beberapa hari ini." selesai berkata demikian, laki-laki itu pun pergi.
  6. Menganggap sama antara rida kepada Allah atas semua perbuatan-Nya kepada mahluk dengan keingginan untuk meraih rida-nya. ini adalah dua hal yang berbeda. contohnya perkataan Abu sulaiman, "aku mengharap mendapatkan setitik keridaan Allah. kalau sudah kudapatkan, aku tidak peduli lagi meskipun dimasukkan ke dalam api neraka."
  7. Menganggap sama antara pengetahuan tentang tawakal dengan kondisi orang yang bertawakal. banyak orang yang mengetahui pengertian, makna serta hakikat tawakal, kemudian menyangka dirinya sudah bertawakal. padahal, pengetahuan tidaklah sama dengan praktik. sama halnya dengan orang yang tahu pengertian, cara, serta etika mencintai Allah SWT. kita yang sekedar tahu berbeda dengan orang-orang yang memang dibuai rasa cinta kepada-Nya. sama pula dengan orang yang sakit yang tahu rasanya sehat. bukankah ia tetap sakit kendati pernah merasakan sehat.
Sumber: Terapi Tawakal (oleh 10 Ulama Klasik Psikologi) Penerjemah Luqman Junaidi, 2011. Ahsan Books

Jumat, 16 September 2011

Tuhan


assalaamu'alaikum wr. wb.

Ketika menjelaskan tentang bukti-bukti keberadaan Tuhan, Buya Hamka tidak
merasa perlu berpanjang-panjang dalam penjelasannya, padahal beliau dikenal
sebagai ulama-sastrawan yang piawai merangkai kata. Menurutnya, keberadaan
Tuhan itu terlalu mudah untuk dipahami oleh manusia, siapa pun dia, sehingga
tak perlu dibuktikan kembali. Apa yang sudah terang tak perlu
diterang-terangkan lagi. Pengakuan akan keberadaan Tuhan adalah suatu hal
yang sudah terintegrasi dalam jiwa manusia. Yang jadi masalah justru jika
manusia ngotot hendak meng-uninstall program yang sudah dipasang sejak
dahulu kala dalam dirinya (QS Al A’raf: 172).

Dari sekian banyak manusia keras kepala yang mengingkari dirinya sendiri
ini, tidak ada satu pun yang berhasil sepenuhnya. Ustadz Rahmat Abdullah
rahimahullaah pernah menceritakan tentang seorang mahasiswa yang sepenuh
hatinya merasa bangga dengan ateisme yang dijadikannya sebagai prinsip
hidup. Tuhan itu tak berwujud, katanya. Tuhan itu hanya ada dalam khayal
manusia, katanya. Tapi dalam sebuah demonstrasi menuntut reformasi, ketika
peluru berdesingan di atas kepalanya, ia tiarap juga sambil berteriak, “Ya
Tuhan!” Ternyata pengakuan terhadap Tuhan belum berhasil ia buang dalam
recycle bin hatinya.

Pada akhirnya, kematian adalah pembuktian yang paling nyata. Biarpun sudah
menolak Tuhan dengan berapi-api dan mengklaim bahwa hidupnya adalah miliknya
sendiri, toh akhirnya semua manusia menemui ajal juga. Suka tidak suka,
semua akan mengalaminya. Boleh seenaknya di dunia, tapi akhirnya diseret
juga ke akhirat.

Pasti ada juga yang menolak argumen ini. Kematian hanya membuktikan bahwa
masa hidup manusia telah habis. Tak ada bukti jiwa manusia pergi ke suatu
alam yang lain dengan alam dunia ini. Tak ada bukti bahwa Tuhan itu ada.
Setelah hidup hanya ada kematian, dan di seberang kematian hanya ada
ketiadaan.

Penyangkalan (denial) semacam ini tidaklah melukai siapa pun selain dirinya
sendiri. Berusaha meng-uninstall program yang menjadi pondasi dari jiwa kita
ibarat tanaman yang mencabut akarnya sendiri. Tak bisa membuang programnya,
maka jiwanya sendirilah yang dicampakkan.

Tidak seorang pun manusia yang sungguh-sungguh percaya bahwa Tuhan itu tidak
ada. Tidak Nietzsche (“God is dead”), tidak Karl Marx (“Religion is opium
for the people”), tidak juga Fir’aun (“Aku tidak mengetahui tuhan bagimu
selain aku.”). Ketika ombak hampir menelan tubuhnya, Fir’aun pada akhirnya
dipaksa mengaku juga bahwa ia hanyalah tulang, darah, daging, kulit, dan
rambut. Sayangnya, penyesalan selalu datang terlambat. Meski sudah ke
mana-mana mendakwakan bahwa Tuhan telah mati, pada akhirnya Nietzsche juga
yang mati. Marx, yang punya ‘misi suci’ membebaskan umat manusia dari
‘opium’ yang membelenggu hidup mereka, pada akhirnya mati juga, sementara
mereka yang beriman tetap saja beriman. Merekalah contoh manusia yang gagal
menulis ulang program dirinya, karena sejak awal mereka memang tidak
mengenal kode program yang sesuai.

Tidak ada seorang manusia pun yang sungguh-sungguh beriman akan ketiadaan.
Pada hakikatnya semua manusia diciptakan dengan ego yang pasti akan menolak
klaim bahwa dirinya tidak lebih daripada seekor hewan yang hidup tanpa
tujuan pasti selain makan, berkembang biak dan bertahan hidup. Tak ada juga
manusia yang mau menyamakan dirinya dengan benda mati yang tercipta dan
hancur tanpa konsekuensi bagi dirinya sendiri. Kematianlah yang memberi
makna pada kehidupan, dan kehidupan sesudah matilah yang memberi makna pada
kematian.

Mereka yang percaya bahwa kematian itu ada, tapi kehidupan sesudah mati itu
tidak ada, akan menjalani kehidupan dengan cara yang berbeda dengan kaum
yang beriman. Jika kehidupan di dunia ini adalah satu-satunya yang mereka
miliki, amboi betapa kacaunya dunia ini. Tak ada kebaikan, tak ada kemurahan
hati, tak ada yang saling menolong, tak ada yang saling mendahulukan, dan
tak ada yang saling mencintai. Semua orang hidup untuk dirinya
sendiri-sendiri, memenuhi syahwat perut dan kelaminnya. Mereka memandang
orang lain sebagai alat untuk memenuhi kebutuhannya sendiri; jika tak lagi
berguna, maka siapa pun bisa disingkirkan. Demikianlah peradaban manusia
yang ‘tanpa tuhan’.

Dalam peradaban paling biadab sekalipun, iman kepada Tuhan dan kehidupan
akhirat masih tetap ada. Itulah yang menjaga manusia dari perilaku keji dan
haus darah. Jika Allah subhanahu wa ta’ala tidak meng-install program yang
terkoneksi langsung dengan-Nya dalam diri kita (dan juga menciptakan program
lain yang mencegah siapa pun untuk meng-uninstall-nya), maka manusia sudah
sejak dulu punah karena saling bunuh. Sementara binatang yang hanya punya
syahwat tanpa akal saja jika terjepit bisa menjadi kanibal, apalagi manusia
yang bukan hanya punya syahwat, tapi juga punya akal. Hewan buas yang
kanibal hanya akan memangsa sesuai kapasitas lambungnya, sementara manusia
yang ‘kanibal’ akan menciptakan kulkas untuk menyimpan korban-korbannya
dalam jumlah banyak dan museum untuk memamerkan tulang-belulangnya.

Benarlah apa yang dikatakan oleh Buya Hamka. Beriman kepada Allah itu adalah
hal yang terlalu terang untuk diterang-terangkan. Justru penolakan
terhadap-Nya itulah yang begitu rumit untuk dijelaskan. Itulah sebabnya
mereka yang keras kepala menolak Allah disebut “kafir” yang artinya
“ingkar”. Mereka tak dapat mengubah kenyataan, melainkan hanya
mengingkarinya saja.

Tulisan ini juga di posting oleh saudara satriyo 

wassalaamu'alaikum wr. wb.