1. Kewajiban Terhadap Diri Sendiri
Seorang pemula dalam menempuh jalan ini wajib memiliki akidah yang benar, yang dibawa oleh Rasulullah saw, yang diikuti oleh para sahabat, tabi`in, ulama salaf yang shaleh, dan orang-orang pengikut mereka, yang semua mereka disebut dengan orang-orang Ahlussunah wal Jama`ah.
Ia harus berpegang kepada Al-Qur`an dan Sunnah, mengamalkan apa-apa yang terkandung di dalam keduanya, serta menjadikan keduanya sebagai sayap baginya untuk terbang menuju Allah SWT.
Di samping itu, ia harus bersifat jujur, dan selalu berjuang sampai ia beroleh petunjuk, bimbingan, perlindungan, dan penghibur dari-Nya, agar ia tidak tersesat dalam menempuh jalan tersebut. Sebab, sungguh banyak Allah SWT berfirman, “Dan orang-orang yang berjihad [untuk mencari keridhaan] Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.....” (QS. Al-`Ankabut [29]: 69).
Seorang ahli hikmah berkata, “Barang siapa yang sungguh-sungguh mencari sesuatu, pasti akan mendapatkannya”.
Kemudian, ia wajib mengikhlaskan niatnya untuk Allah semata, dan berjanji kepada-Nya untuk tidak akan berpaling dari jalan-Nya sebelum sampai pada tujuan. Hal ini dimaksudkan agar selama menempuh perjalanan itu, ia tidak tergoda oleh sesuatu sehingga ia menjadi lupa diri dan lupa terhadap tujuan sebenarnya. Misalkan, dipertengahan jalan ia beroleh karamah (keistimewaan) dari-Nya, ia tidak akan berpaling dari-Nya dan merasa cukup dengan karamah tersebut, lalu menghentikan perjalanannya sampai disitu, padahal belum sampai di tujuan. Ia harus amanah dalam memegang perjanjian ini, sebab pengkhianatannya akan menyebabkannya terhalang dari mencapai tujuannya.
Lain halnya jika ia telah mencapai tujuan, dimana karamah atau keistimewaan yang ia peroleh dari-Nya tidak akan mampu menggagalkannya. Sebab, karamah itu termasuk kepada qudrah Tuhan, sedang sampainya ia kepada Allah juga merupakan qudrah Tuhan, dan sesama qudrah-Nya tidak akan saling menggagalkan. Kenapa tidak! Jika ia sudah sampai kepada Allah, terkadang ia telah menjadi tauladan di muka bumi dan memiliki beberapa keistimewaan yang tidak dimiliki oleh orang-orang lain. Kata-katanya mengandung hikmah, dan tindak-tanduknya menjadi `ibrah (pelajaran) bagi orang lain. Perbuatan Allah telah terpantul pada dirinya sehingga orang-orang menjadi kagum kepadanya. Sehingga pada saat itu, memang seharusnya ia meminta karamah kepada-Nya, sebab karamah itu akan dapat melindungi dirinya dan mendatangkan mamfaat yang banyak baginya dalam menambah kedekatannya kepada Allah.
Sikap lainnya yang harus diambil oleh pencari ketinggian adalah tidak berada di negeri atau komunitas yang rusak, serta tidak bercampur dengan orang-orang lalai dalam menjalankan kewajiban-kewajiban agama dan orang-orang munafiq, yaitu orang-orang yang dikatakan oleh Allah SWT di dalam firman-Nya, “Hai orang-orang yang beriman, mengapa kalian mengatakan apa-apa yang tidak kalian perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kalian mengatakan apa-apa yang kalian kerjakan, (QS. Ash-Shaff [61]: 2-3) dan “mengaa kalian siruh orang lain mengerjakan kebajikan, sedangkan kalian melupakan [kewajiban] mu sendiri, padahal kalian membaca Al-Kitab (Taurat)? Maka tidakkah kalian berfikir?” (QS. Al-Baqarah [2]: 44)
Ia juga harus tidak berlaku bakhil terhadap apa yang ada padanya lantaran merasa sulit mendapatkannya kembali. Ia juga ridha menerima segala kesusahan yang dihadapinya, seperti kekurangan uang, makanan, dan lain-lain, serta celaan orang lain terhadapnya. Jika ia tidak ridha menerimanya, maka boleh jadi Allah SWT tidak membukakan tabir baginya, sehingga ia tidak mendapatkan apa yang ia inginkan dari usahanya itu.
Di samping itu, hendaklah ia tidak menunggu-nunggu datangnya anugrah dari Allah, melainkan senantiasa meminta ampun kepada-Nya atas segala dosa yang telah dierbuatnya, meminta perlindungan kepada-Nya dari terjatuh kembali kepada perbuatan dosa, memohon taufiq-Nya agar berhasil mencapai tujuannya, serta bersedia menaati gurunya yang menjadi wasilah antra dirinya dengan Allah.
Diambil dari buku “Wasiat terbesar sang guru besar / asy-Syaikh ‘abdul Qadir al-jilani” dengan judul asli “Al-Ghuniyyah li Thalibi Thariq al-Haq”.
Penerjemah, Abad Badruzzaman & Nunu Burhanuddin;
penyunting Tim Sahara
Seorang pemula dalam menempuh jalan ini wajib memiliki akidah yang benar, yang dibawa oleh Rasulullah saw, yang diikuti oleh para sahabat, tabi`in, ulama salaf yang shaleh, dan orang-orang pengikut mereka, yang semua mereka disebut dengan orang-orang Ahlussunah wal Jama`ah.
Ia harus berpegang kepada Al-Qur`an dan Sunnah, mengamalkan apa-apa yang terkandung di dalam keduanya, serta menjadikan keduanya sebagai sayap baginya untuk terbang menuju Allah SWT.
Di samping itu, ia harus bersifat jujur, dan selalu berjuang sampai ia beroleh petunjuk, bimbingan, perlindungan, dan penghibur dari-Nya, agar ia tidak tersesat dalam menempuh jalan tersebut. Sebab, sungguh banyak Allah SWT berfirman, “Dan orang-orang yang berjihad [untuk mencari keridhaan] Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.....” (QS. Al-`Ankabut [29]: 69).
Seorang ahli hikmah berkata, “Barang siapa yang sungguh-sungguh mencari sesuatu, pasti akan mendapatkannya”.
Kemudian, ia wajib mengikhlaskan niatnya untuk Allah semata, dan berjanji kepada-Nya untuk tidak akan berpaling dari jalan-Nya sebelum sampai pada tujuan. Hal ini dimaksudkan agar selama menempuh perjalanan itu, ia tidak tergoda oleh sesuatu sehingga ia menjadi lupa diri dan lupa terhadap tujuan sebenarnya. Misalkan, dipertengahan jalan ia beroleh karamah (keistimewaan) dari-Nya, ia tidak akan berpaling dari-Nya dan merasa cukup dengan karamah tersebut, lalu menghentikan perjalanannya sampai disitu, padahal belum sampai di tujuan. Ia harus amanah dalam memegang perjanjian ini, sebab pengkhianatannya akan menyebabkannya terhalang dari mencapai tujuannya.
Lain halnya jika ia telah mencapai tujuan, dimana karamah atau keistimewaan yang ia peroleh dari-Nya tidak akan mampu menggagalkannya. Sebab, karamah itu termasuk kepada qudrah Tuhan, sedang sampainya ia kepada Allah juga merupakan qudrah Tuhan, dan sesama qudrah-Nya tidak akan saling menggagalkan. Kenapa tidak! Jika ia sudah sampai kepada Allah, terkadang ia telah menjadi tauladan di muka bumi dan memiliki beberapa keistimewaan yang tidak dimiliki oleh orang-orang lain. Kata-katanya mengandung hikmah, dan tindak-tanduknya menjadi `ibrah (pelajaran) bagi orang lain. Perbuatan Allah telah terpantul pada dirinya sehingga orang-orang menjadi kagum kepadanya. Sehingga pada saat itu, memang seharusnya ia meminta karamah kepada-Nya, sebab karamah itu akan dapat melindungi dirinya dan mendatangkan mamfaat yang banyak baginya dalam menambah kedekatannya kepada Allah.
Sikap lainnya yang harus diambil oleh pencari ketinggian adalah tidak berada di negeri atau komunitas yang rusak, serta tidak bercampur dengan orang-orang lalai dalam menjalankan kewajiban-kewajiban agama dan orang-orang munafiq, yaitu orang-orang yang dikatakan oleh Allah SWT di dalam firman-Nya, “Hai orang-orang yang beriman, mengapa kalian mengatakan apa-apa yang tidak kalian perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kalian mengatakan apa-apa yang kalian kerjakan, (QS. Ash-Shaff [61]: 2-3) dan “mengaa kalian siruh orang lain mengerjakan kebajikan, sedangkan kalian melupakan [kewajiban] mu sendiri, padahal kalian membaca Al-Kitab (Taurat)? Maka tidakkah kalian berfikir?” (QS. Al-Baqarah [2]: 44)
Ia juga harus tidak berlaku bakhil terhadap apa yang ada padanya lantaran merasa sulit mendapatkannya kembali. Ia juga ridha menerima segala kesusahan yang dihadapinya, seperti kekurangan uang, makanan, dan lain-lain, serta celaan orang lain terhadapnya. Jika ia tidak ridha menerimanya, maka boleh jadi Allah SWT tidak membukakan tabir baginya, sehingga ia tidak mendapatkan apa yang ia inginkan dari usahanya itu.
Di samping itu, hendaklah ia tidak menunggu-nunggu datangnya anugrah dari Allah, melainkan senantiasa meminta ampun kepada-Nya atas segala dosa yang telah dierbuatnya, meminta perlindungan kepada-Nya dari terjatuh kembali kepada perbuatan dosa, memohon taufiq-Nya agar berhasil mencapai tujuannya, serta bersedia menaati gurunya yang menjadi wasilah antra dirinya dengan Allah.
Diambil dari buku “Wasiat terbesar sang guru besar / asy-Syaikh ‘abdul Qadir al-jilani” dengan judul asli “Al-Ghuniyyah li Thalibi Thariq al-Haq”.
Penerjemah, Abad Badruzzaman & Nunu Burhanuddin;
penyunting Tim Sahara
3 komentar:
[B]NZBsRus.com[/B]
Skip Crawling Downloads Using NZB Downloads You Can Instantly Search Movies, Games, MP3s, Software and Download Them at Alarming Rates
[URL=http://www.nzbsrus.com][B]Newsgroup Search[/B][/URL]
Infatuation casinos? purify this latest [url=http://www.realcazinoz.com]casino[/url] steersman and horseplay online casino games like slots, blackjack, roulette, baccarat and more at www.realcazinoz.com .
you can also examine our narrative [url=http://freecasinogames2010.webs.com]casino[/url] trade something at http://freecasinogames2010.webs.com and renewal bring zing fabulously misled !
another unaccompanied [url=http://www.ttittancasino.com]casino spiele[/url] on the give access to is www.ttittancasino.com , because german gamblers, pump all sane from online casino bonus.
It isn't hard at all to start making money online in the underground world of [URL=http://www.www.blackhatmoneymaker.com]blackhat[/URL], You are far from alone if you don't know what blackhat is. Blackhat marketing uses little-known or little-understood avenues to produce an income online.
Posting Komentar