2. Kewajiban Terhadap Guru
Seorang pencari ketinggian haruslah tidak melanggar apa-apa yang diajarkan oleh gurunya, juga tidak mengingkarinya di dalam hatinya. Sebab, jika ia melakukan hal tersebut, berarti ia tidak lagi menghormatinya. Ia harus senantiasa mengendalikan dirinya agar tidak sampai berselisih dengannya, baik secara lahir maupun batin, dan hendaklah ia sering-sering mengingat firman-Nya yang berbunyi, “Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan suadara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-hasyr [59]: 10)
Seandainya ia melihat ada hal-hal yang dibenci oleh agama pada diri gurunya itu, maka hendaklah ia berusaha memberitahukan hal itu kepadanya dengan cara yang bijaksana, misalnya dengan menyebutkan perumpamaan sehingga guru itu menjadi sadar akan kekhilafannya. Bukan dengan jalan menyampaikan kesalahan tersebut secara terus terang kepadanya, karena dikhawatirkan ia merasa tidak enak, lalu menghindar darinya. Jika, ia melihat sebuah aib pada guru itu, maka hendaklah ia menutupinya seraya ber-khusnuzhzhan (berperasangka baik) kepadanya. Dan jika kesalahan guru itu memang tidak bisa dimaafkan lagi secara agama, maka hendaklah ia memintakan ampun baginya kepada Allah serta mendoakannya agar diberi taufiq dan hidayah kepadanya agar ia meninggalkannya. Ia tidak boleh menyampaikannya kepada orang lain, dan yang tak kalah pentingnya, ia tidak boleh beranggapan bahwa gurunya itu ma`shum (terpelihara dari dosa) seperti para nabi.
Jika gurunya itu telah menyadari kesalahannya lalu meninggalkannya, maka hendaklah ia melupakannya dan menganggap bahwa kesalahan lalu-nya itu hanyalah sebuah kelalaian atau kekhilafan darinya.
Sekiranya guru itu marah, lalu bermuka masam kepadanya atau bersikap seperti menghindar darinya, maka janganlah ia sampai memutuskan hubungan dengannya. Akan tetapi, hendaklah ia mengintrospeksi dirinya sendiri, karena boleh jadi ia tanpa disadarinya telah bersikap kurang sopan kepada gurunya itu atau pun telah lalai melaksanakan kewajibannya kepada Allah. Kemudian, hendaklah ia segera meminta ampun dan bertobat kepada-Nya, lalu meminta maaf kepada guru tersebut serta merendah dihadaannya sambil berjanji untuk tidak lagi berbuat sesuatu yang tidak disukainya.
Ia harus bersikap baik dan santun kepada gurunya itu. Dan hendaknya ia menjadikannya sebagai wasilah atau jalan yang dapat menyampaikannya kepada Allah. Dalam hal ini ia bagaikan seorang yang ingin bertemu dengan raja yang belum dikenalnya, sehingga ia butuh keada orang lain yang akan memperkenalkan ciri-ciri serta sifat-sifat dari raja tersebut kepadanya agar ia dapat dengan mudah mencarinya dan bertemu dengannya.
Hendaklah ia menyadari bahwa Allah SWT telah menetapkan bahwa sepanjang masa akan ada guru dan murid, pembimbing dan yang dibimbing, serta yang diikut dan pengikut dimuka bumi ini. Lihatlah bahwa nabi Adam `alaihissalam, setelah diciptakan oleh Allah SWT, Ia ajarkan kepadanya nama-nama seluruh benda, dan Ia jadikan Adam itu ibarat seorang murid bagi-Nya – dan Dia-lah gurunya. Dia berkata kepadanya, “Hai Adam, ini adalah kuda, ini keledai, ini pohon Thin, ini Zaitun, dan seterusnya.” Kemudian, setelah Adam mengerti semuanya, Allah pun menjadikannya sebagai guru bagi yang lainnya (para malaikat). Allah SWT mengumpulkan para malaikat-Nya, lalu berkata kepada Adam, “Hai Adam, baritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini,” (QS. Al-Baqarah [2]: 33) sebab mereka tidak mengetahuinya; mereka telah berkata kepada-Ku, “Mahasuci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selai dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami.” (QS. Al-Baqarah [2]: 32). Maka Adam pun mengajarkannya kepada mereka sehingga jadilah ia sebagai guru bagi mereka, dan mereka sebagai murid baginya.
Setelah Adam diturunkan ke bumi lantaran memakan buah khuldi, maka ia pun merasa asing di sana dan merasakan apa yang belum pernah dirasakan sebelumnya, seperti lapar, haus, gelisah, bingung, serta berbagai perasaan lainnya. Nah ! pada saat itu ia membutuhkan orang lain yang akan berfungsi sebagai guru, pemandu, penunjuk, pelatih, dan penasehat baginya. Maka diutuslah malaikat Jibril oleh Allah untuk menempati posisi tersebut. Jibril pun melaksanakan tugas yang diembannya; Ia mengajarkan kepada Adam segala hal yang dibutuhkannya, seperti bercocok tanam , membangun rumah, mengolah makanan, membersihkan badan, beribadah kepada Allah, dan lain sebagainya.
Begitulah seterusnya, dimana anak Adam yang bernama Syits berguru kepada ayahnya (Adam), dan anak-anaknya berguru kepadanya. Nabi-nabi lain juga demikian, sampai kepada nabi Muhammad saw yang juga berguru kepada malaikat Jibril, kemudian mengajarkannya kepada para sahabatnya. Dari sahabat menurun ke tabi`in, dan begitu-lah seterusnya sampai akhir zaman.
Tidak ada seorang nabi pun melainkan mempunyai murid yang belajar kepadanya, lalu murid itu menjadi guru bagi yang lain. Murid nabi Musa adalah anak saudara perempuannya yang bernama Yusyi` ibn Nun, murid nabi Isa adalah orang-orang Hawariyyin, dan murid nabi Muhammad adalah Abu Bakar, Umar, Utsman, dan sebagainya, dimana masing-masing mereka memiliki murid yang nantinya akan menjadi guru juga bagi yang lainnya.
Oleh sebab itu, para ulama tau guru adalah jalan untuk menuju Allah, petunjuk untuk sampai kepada-Nya, dan pintu untuk masuk kedalam-Nya. Setiap yang menginginkan Allah, harus memiliki seorang guru yang akan membimbingnya untuk mencapai keinginannya itu. Kecuali orang-orang tertentu yang diajar langsung oleh Allah SWT serta dipelihara-Nya dari ganguan setan dan hawa nafsunya, seperti Nabi Ibrahim dan Nabi Muhammad saw (dari kalangan nabi) Uwais al-Qarni (dari kalangan wali), dan selain mereka. Cuma saja itu hanyalah pengecualian, sedangkan yang kita terangi disini hanyalah yang kebanyakan terjadi, diamana sorang murid tidak akan terlepas dari orang lain yang berfungsi sebagai guru baginya. Tidak dibenarkan seorang pun belajar tanpa guru dengan dalih bahwa Allah saja-lah gurunya.
Oleh karena itu, tidaklah layak baginya memutuskan pertalian dengan gurunya kecuali jika ia telah sampai kepada Allah SWT. Sebab, pada saat itu posisinya sudah tidak sama lagi dengannya. Ia sekarang sudah dididik langsung oleh Allah SWT, bahkan dibukakan baginya hal-hal yang tidak diketahui oleh gurunya itu. Fungsi yang selama ini dijalankan oleh gurunya, sekarang telah berpindah kepada Allah, sihingga Dia-lah yang akan memperlakukannya sekehendak-Nya, menyuruh atau melarangnya, melapangkan atau menyempitkan rezekinya, dan mengayakan atau memiskinkannya. Tugasnya pada waktu itu hanyalah senantiasa menjaga adab serta ibadahnya terhadap-Nya. Pada saat itu, terputuslah keterkaitannya dengan gurunya, bahkan barangkali terlarang baginya menemuinya, kecuali tanpa ia sengaja, untuk memelihara keadaannya, agar ia benar-benar mencukupkan Allah sebagai guru dan pembimbingnya.
Diantara adab lain yang harus ia perhatikan adalah tidak memotong pembicaraan gurunya ketika sedang berbicara kepadanya, kecuali dalam keadaan terpaksa. Ia juga tidak boleh menonjolkan kelebihan yang ada pada dirinya kepadanya dengan maksud membesarkan diri di hadapannya. Juga tidak pantas membentangkan sejadah di hadapan gurunya kecuali pada waktu shalat, dan apabila telah selesai dari shalatnya, hendaklah ia melipat kembali sejadahnya itu.
Seandainya sebuah permasalahan dipertanyakan kepada guru itu di hadapannya, maka hendaklah ia diam saja, sekalipun ia mengetahui betul akan jawabannya, kecuali jika guru tersebut mempersilahkannya untuk menjawabnya. Jika jawaban gurunya itu kurang memuaskan menurutnya, janganlah ia membantahnya, bahkan bersyukurlah kepada Allah lantaran ia diberi kelebihan ilmu oleh Allah daripada gurunya itu. Kekurangan yang ada pada gurunya itu hendaknya ia tutupi, tidak ia sebar luaskan kepada orang lain, seperti mengatakan, “Sungguh syaikh itu telah keliru dalam masalah ini.” Ia tidak boleh membantahnya, sekalipun perkataannya keliru, kecuali jika telah berulang-ulang dikatakannya.
Ia juga tidak boleh melakukan hal-hal yang tidak pantas saat gurunya memberi penjelasan. Jangan pernah berbuat sesuatu yang terkesan meremehkannya seperti bergerak-gerak (berpindah-pindah) dan lain-lain, sekalipun misalnya guru itu seorang yang buta, kecuali jika ia diperintahkannya untuk itu. Ia harus memperhatikannya ketika itu, dan tidak boleh memalingkan pandangan darinya. Murid yang benar, semangatnya tidak akan pernah pudar, keinginan kuatnya itu terpantul dari wajahnya, dan adab sopan santunyan tidak pernah ia tinggalkan.
Kemudian, ia harus meyakini bahwa tidak ada orang lain yang lebih utama dari gurunya itu di daerah tempat ia belajar. Ia harus yakin bahwa ia telah belajar pada orang yang tepat, sahingga ia benar-benar mencurahkan perhatiannya untuk memamfaatkan kesempatan belajar itu dengan sebaik-baiknya. Juga agar Allah SWT membantu keduanya dalam proses belajar mengajar tersebut.
Ia juga tidak pantas meminta rukhshah (keringanan) kepada gurunya itu untuk melakukan hal-hal yang telah dilarangnya, atau pun menarik kembali apa-apa yang telah diberikan (hadiahkan) kepadanya karena Allah. Tindakan seperti ini menurut ahli tarekat, dipandang sebagai dosa besar dan dapat membatalkan iradah-nya. Rasulullah saw bersabda, “Orang yang menarik kembali pemberiannya adalah seperti anjing yang menelan muntahnya sendiri”.
Ia harus mendengar kata-katanya dan patuh kepada gurunya. Sekiranya ia terlanjur berbuat sesuatu yang menurutnya keliru, maka hendaklah ia memberitahukan hal itu kapadanya agar ia dapat mengetahui pendapatnya tentang hal itu. Ia harus senantiasa mendoakannya agar diberi pertolongan, kemudahan, dan kemenangan oleh Allah SWT.
Diambil dari buku “Wasiat terbesar sang guru besar / asy-Syaikh ‘abdul Qadir al-jilani” dengan judul asli “Al-Ghuniyyah li Thalibi Thariq al-Haq”.
Penerjemah, Abad Badruzzaman & Nunu Burhanuddin;
penyunting Tim Sahara
Seorang pencari ketinggian haruslah tidak melanggar apa-apa yang diajarkan oleh gurunya, juga tidak mengingkarinya di dalam hatinya. Sebab, jika ia melakukan hal tersebut, berarti ia tidak lagi menghormatinya. Ia harus senantiasa mengendalikan dirinya agar tidak sampai berselisih dengannya, baik secara lahir maupun batin, dan hendaklah ia sering-sering mengingat firman-Nya yang berbunyi, “Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan suadara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-hasyr [59]: 10)
Seandainya ia melihat ada hal-hal yang dibenci oleh agama pada diri gurunya itu, maka hendaklah ia berusaha memberitahukan hal itu kepadanya dengan cara yang bijaksana, misalnya dengan menyebutkan perumpamaan sehingga guru itu menjadi sadar akan kekhilafannya. Bukan dengan jalan menyampaikan kesalahan tersebut secara terus terang kepadanya, karena dikhawatirkan ia merasa tidak enak, lalu menghindar darinya. Jika, ia melihat sebuah aib pada guru itu, maka hendaklah ia menutupinya seraya ber-khusnuzhzhan (berperasangka baik) kepadanya. Dan jika kesalahan guru itu memang tidak bisa dimaafkan lagi secara agama, maka hendaklah ia memintakan ampun baginya kepada Allah serta mendoakannya agar diberi taufiq dan hidayah kepadanya agar ia meninggalkannya. Ia tidak boleh menyampaikannya kepada orang lain, dan yang tak kalah pentingnya, ia tidak boleh beranggapan bahwa gurunya itu ma`shum (terpelihara dari dosa) seperti para nabi.
Jika gurunya itu telah menyadari kesalahannya lalu meninggalkannya, maka hendaklah ia melupakannya dan menganggap bahwa kesalahan lalu-nya itu hanyalah sebuah kelalaian atau kekhilafan darinya.
Sekiranya guru itu marah, lalu bermuka masam kepadanya atau bersikap seperti menghindar darinya, maka janganlah ia sampai memutuskan hubungan dengannya. Akan tetapi, hendaklah ia mengintrospeksi dirinya sendiri, karena boleh jadi ia tanpa disadarinya telah bersikap kurang sopan kepada gurunya itu atau pun telah lalai melaksanakan kewajibannya kepada Allah. Kemudian, hendaklah ia segera meminta ampun dan bertobat kepada-Nya, lalu meminta maaf kepada guru tersebut serta merendah dihadaannya sambil berjanji untuk tidak lagi berbuat sesuatu yang tidak disukainya.
Ia harus bersikap baik dan santun kepada gurunya itu. Dan hendaknya ia menjadikannya sebagai wasilah atau jalan yang dapat menyampaikannya kepada Allah. Dalam hal ini ia bagaikan seorang yang ingin bertemu dengan raja yang belum dikenalnya, sehingga ia butuh keada orang lain yang akan memperkenalkan ciri-ciri serta sifat-sifat dari raja tersebut kepadanya agar ia dapat dengan mudah mencarinya dan bertemu dengannya.
Hendaklah ia menyadari bahwa Allah SWT telah menetapkan bahwa sepanjang masa akan ada guru dan murid, pembimbing dan yang dibimbing, serta yang diikut dan pengikut dimuka bumi ini. Lihatlah bahwa nabi Adam `alaihissalam, setelah diciptakan oleh Allah SWT, Ia ajarkan kepadanya nama-nama seluruh benda, dan Ia jadikan Adam itu ibarat seorang murid bagi-Nya – dan Dia-lah gurunya. Dia berkata kepadanya, “Hai Adam, ini adalah kuda, ini keledai, ini pohon Thin, ini Zaitun, dan seterusnya.” Kemudian, setelah Adam mengerti semuanya, Allah pun menjadikannya sebagai guru bagi yang lainnya (para malaikat). Allah SWT mengumpulkan para malaikat-Nya, lalu berkata kepada Adam, “Hai Adam, baritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini,” (QS. Al-Baqarah [2]: 33) sebab mereka tidak mengetahuinya; mereka telah berkata kepada-Ku, “Mahasuci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selai dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami.” (QS. Al-Baqarah [2]: 32). Maka Adam pun mengajarkannya kepada mereka sehingga jadilah ia sebagai guru bagi mereka, dan mereka sebagai murid baginya.
Setelah Adam diturunkan ke bumi lantaran memakan buah khuldi, maka ia pun merasa asing di sana dan merasakan apa yang belum pernah dirasakan sebelumnya, seperti lapar, haus, gelisah, bingung, serta berbagai perasaan lainnya. Nah ! pada saat itu ia membutuhkan orang lain yang akan berfungsi sebagai guru, pemandu, penunjuk, pelatih, dan penasehat baginya. Maka diutuslah malaikat Jibril oleh Allah untuk menempati posisi tersebut. Jibril pun melaksanakan tugas yang diembannya; Ia mengajarkan kepada Adam segala hal yang dibutuhkannya, seperti bercocok tanam , membangun rumah, mengolah makanan, membersihkan badan, beribadah kepada Allah, dan lain sebagainya.
Begitulah seterusnya, dimana anak Adam yang bernama Syits berguru kepada ayahnya (Adam), dan anak-anaknya berguru kepadanya. Nabi-nabi lain juga demikian, sampai kepada nabi Muhammad saw yang juga berguru kepada malaikat Jibril, kemudian mengajarkannya kepada para sahabatnya. Dari sahabat menurun ke tabi`in, dan begitu-lah seterusnya sampai akhir zaman.
Tidak ada seorang nabi pun melainkan mempunyai murid yang belajar kepadanya, lalu murid itu menjadi guru bagi yang lain. Murid nabi Musa adalah anak saudara perempuannya yang bernama Yusyi` ibn Nun, murid nabi Isa adalah orang-orang Hawariyyin, dan murid nabi Muhammad adalah Abu Bakar, Umar, Utsman, dan sebagainya, dimana masing-masing mereka memiliki murid yang nantinya akan menjadi guru juga bagi yang lainnya.
Oleh sebab itu, para ulama tau guru adalah jalan untuk menuju Allah, petunjuk untuk sampai kepada-Nya, dan pintu untuk masuk kedalam-Nya. Setiap yang menginginkan Allah, harus memiliki seorang guru yang akan membimbingnya untuk mencapai keinginannya itu. Kecuali orang-orang tertentu yang diajar langsung oleh Allah SWT serta dipelihara-Nya dari ganguan setan dan hawa nafsunya, seperti Nabi Ibrahim dan Nabi Muhammad saw (dari kalangan nabi) Uwais al-Qarni (dari kalangan wali), dan selain mereka. Cuma saja itu hanyalah pengecualian, sedangkan yang kita terangi disini hanyalah yang kebanyakan terjadi, diamana sorang murid tidak akan terlepas dari orang lain yang berfungsi sebagai guru baginya. Tidak dibenarkan seorang pun belajar tanpa guru dengan dalih bahwa Allah saja-lah gurunya.
Oleh karena itu, tidaklah layak baginya memutuskan pertalian dengan gurunya kecuali jika ia telah sampai kepada Allah SWT. Sebab, pada saat itu posisinya sudah tidak sama lagi dengannya. Ia sekarang sudah dididik langsung oleh Allah SWT, bahkan dibukakan baginya hal-hal yang tidak diketahui oleh gurunya itu. Fungsi yang selama ini dijalankan oleh gurunya, sekarang telah berpindah kepada Allah, sihingga Dia-lah yang akan memperlakukannya sekehendak-Nya, menyuruh atau melarangnya, melapangkan atau menyempitkan rezekinya, dan mengayakan atau memiskinkannya. Tugasnya pada waktu itu hanyalah senantiasa menjaga adab serta ibadahnya terhadap-Nya. Pada saat itu, terputuslah keterkaitannya dengan gurunya, bahkan barangkali terlarang baginya menemuinya, kecuali tanpa ia sengaja, untuk memelihara keadaannya, agar ia benar-benar mencukupkan Allah sebagai guru dan pembimbingnya.
Diantara adab lain yang harus ia perhatikan adalah tidak memotong pembicaraan gurunya ketika sedang berbicara kepadanya, kecuali dalam keadaan terpaksa. Ia juga tidak boleh menonjolkan kelebihan yang ada pada dirinya kepadanya dengan maksud membesarkan diri di hadapannya. Juga tidak pantas membentangkan sejadah di hadapan gurunya kecuali pada waktu shalat, dan apabila telah selesai dari shalatnya, hendaklah ia melipat kembali sejadahnya itu.
Seandainya sebuah permasalahan dipertanyakan kepada guru itu di hadapannya, maka hendaklah ia diam saja, sekalipun ia mengetahui betul akan jawabannya, kecuali jika guru tersebut mempersilahkannya untuk menjawabnya. Jika jawaban gurunya itu kurang memuaskan menurutnya, janganlah ia membantahnya, bahkan bersyukurlah kepada Allah lantaran ia diberi kelebihan ilmu oleh Allah daripada gurunya itu. Kekurangan yang ada pada gurunya itu hendaknya ia tutupi, tidak ia sebar luaskan kepada orang lain, seperti mengatakan, “Sungguh syaikh itu telah keliru dalam masalah ini.” Ia tidak boleh membantahnya, sekalipun perkataannya keliru, kecuali jika telah berulang-ulang dikatakannya.
Ia juga tidak boleh melakukan hal-hal yang tidak pantas saat gurunya memberi penjelasan. Jangan pernah berbuat sesuatu yang terkesan meremehkannya seperti bergerak-gerak (berpindah-pindah) dan lain-lain, sekalipun misalnya guru itu seorang yang buta, kecuali jika ia diperintahkannya untuk itu. Ia harus memperhatikannya ketika itu, dan tidak boleh memalingkan pandangan darinya. Murid yang benar, semangatnya tidak akan pernah pudar, keinginan kuatnya itu terpantul dari wajahnya, dan adab sopan santunyan tidak pernah ia tinggalkan.
Kemudian, ia harus meyakini bahwa tidak ada orang lain yang lebih utama dari gurunya itu di daerah tempat ia belajar. Ia harus yakin bahwa ia telah belajar pada orang yang tepat, sahingga ia benar-benar mencurahkan perhatiannya untuk memamfaatkan kesempatan belajar itu dengan sebaik-baiknya. Juga agar Allah SWT membantu keduanya dalam proses belajar mengajar tersebut.
Ia juga tidak pantas meminta rukhshah (keringanan) kepada gurunya itu untuk melakukan hal-hal yang telah dilarangnya, atau pun menarik kembali apa-apa yang telah diberikan (hadiahkan) kepadanya karena Allah. Tindakan seperti ini menurut ahli tarekat, dipandang sebagai dosa besar dan dapat membatalkan iradah-nya. Rasulullah saw bersabda, “Orang yang menarik kembali pemberiannya adalah seperti anjing yang menelan muntahnya sendiri”.
Ia harus mendengar kata-katanya dan patuh kepada gurunya. Sekiranya ia terlanjur berbuat sesuatu yang menurutnya keliru, maka hendaklah ia memberitahukan hal itu kapadanya agar ia dapat mengetahui pendapatnya tentang hal itu. Ia harus senantiasa mendoakannya agar diberi pertolongan, kemudahan, dan kemenangan oleh Allah SWT.
Diambil dari buku “Wasiat terbesar sang guru besar / asy-Syaikh ‘abdul Qadir al-jilani” dengan judul asli “Al-Ghuniyyah li Thalibi Thariq al-Haq”.
Penerjemah, Abad Badruzzaman & Nunu Burhanuddin;
penyunting Tim Sahara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar