3. Adab Orang Fakir Dalam Menyikapi Kefakirannya
Seyogyanya orang fakir menyukai kefakirannya sebagaimana orang kaya yang menyukai kekayaannya, dan hendaknya ia berusaha semaksimal mungkin untuk mempertahankan kefakirannya itu seperti berusahanya orang kaya semaksimal mungkin agar kekayaannya tidak lenyap. Janganlah ia sampai berdoa kepada Allah Swt agar dilepaskan darinya.
Lebih baik ia merasa puas dengan apa yang ada padanya dan tidak berambisi untuk medapatkan lebih dari itu, jika memang yang ada itu sudah cukup membuat dirinya mampu berbuat taat kepada Allah serta terhindar dari kematian. Apa yang ada itu harus ia mamfaatkan, dan tidak boleh ia tinggalkan. Sebab, haram baginya untuk tidak memenihi hak dirinya sendiri, seperti makan, pakaian dan lain-lain. Firman Allah, “dan janganlah kalian membunuh diri sendiri; sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. An-Nisa’[4]: 29)
Hendaklah ia tidak menyesali nasib yang menimpa dirinya itu, malainkan menerimanya dengan ridha kepada Allah, karena Dia lah yang menakdirkan hal itu baginya. Nikmati-lah kefakiran itu melebihi orang kaya menikmati kekayaannya.
Ia juga harus tegar menghadapi kesulitan hidupnya. Sebab, semakin kurang materi padanya, maka semakin banyaklah kebaikan pada jiwanya, di samping semakin besar pula keberuntungannya lantaran dengan kefakirannya itu akan bisa mengantarkan kapada derajat keshalehan di sisi Allah. Sebaliknya, jika ia menghadapinya dengan berkeluh kesah dan kecewa, berdosalah ia kepada Allah lantaran tidak ridha kepada-Nya, dan haruslah ia cepat-cepat bertobat kepada-Nya serta memohon ampunan-Nya.
Jika ia mempunyai tanggungan (keluarga/anak), maka semakin banyak tanggungannya, semakin kuat jua-lah hendaknya keyakinannya terhadap Allah SWT. Hendaklah ia berhati-hati dari cara-cara yang terlarang dalam mencari kehidupan buat mereka, dan tetap meyakini bahwa janji-janji Allah SWT terhadapnya adalah benar, dimana rezeki mereka itu pasti akan datang kepada mereka, baik melalui tangannya sendiri maupun orang lain. Jadi, ia tidak perlu berkeluh kesah menghadapinya, apalagi sampai menyalahkan Tuhan, melainkan menganggapnya sebagai sebuah ujian dari-Nya, agar ia selalu ingat dan meminta tolong serta menggantungkan diri kepada-Nya. Dan ini amat disukai oleh-Nya, dan ia akan mendapat kebaikan yang banyak karenanya, baik di dunia ini apalagi diakhirat kelak.
Ia juga harus senantiasa optimis dalam menjalani kehidupan ini dengan tetap berusaha semaksimal mungkin. Kewajibannya hanyalah menaati Allah SWT dalam usaha tersebut, adapun mengenai hasilnya serahkan kepada-Nya karena Dia-lah yang tahu apa yang terbaik baginya. Dengan demikian ia tidak akan pernah berputus asa menghadapi kehidupan ini atau menyalahkan diri sendiri dan orang lain.
Di samping itu, ia harus senantiasa bersiap-siap menghadapi ajalnya agar ia semakin ridha terhadap-Nya dan semakin kuat dan sabar menanggung segala penderiataannya. Sebab, dengan mengingat mati, segala ambisi duniawi akan memudar sebagaimana Rasulullah Saw mengatakan, “Perbanyaklah mengingat pelenyap berbagai (ambisi duniawi yang mendatangkan) kenikmatan, yakni kematian.” Ia juga harus bersikap wara` (tidak tamak) sehingga tidak terangsang untuk melakukan hal-hal yang dilarang oleh syari`at. Dengan sikap wara` ini, ia akan selamat dari hal-hal yang dapat merusak agama dan harga dirinya. Orang-orang shaleh berkata, “orang-orang fakir yang tidak wara` pasti terjerumus kepada perbuatan haram, tanpa disadarinya”.
Janganlah ia meminta-minta kepada orang lain kecuali dalam keadaan terpaksa; kalaupun terpaksa, haruslah memintanya sekedar kebutuhannya, tidak lebih.
Jika orang itu memberinya, maka hendaklah ia segera menyadari sebenarnya Allah-lah yang memberinya, sedangkan orang tersebut hanyalah sekedar penyalur saja, yang diberikan amanah oleh Allah SWT untuk menyimpan rezekinya pada orang itu. Sehingga, ia tidak akan mendewa-dewakan orang itu.
Dalam meminta kepada orang lain, haruslah diniatkannya sekedar memberitahuan kepadanya tentang kesusahan yang sedang dialaminya, bukan untuk mengadu atau meminta belas kasihan darinya, karena hal itu hanyalah diperuntukan bagi Allah SWT.
Jika orang itu memberinya, maka hendaklah ia berterima kasih kepadanya. Namun jika ia menolaknya, hendaklah ia bersabar dan mengembalikan urusannya kepada Allah sambilo memohon kemudahan dan kelapangan kepada-Nya; jangan sampai ia membalasnya dengan sikap yang tidak baik, seperti mengeluarkan kata-kata yang tidak enak didengar, menampakkan muka masam kepadanya, dan lain-lain. Beginilah sifat yang benar dari seorang fakir.
Kalau ia menghadiri sebuah jamuan makan, maka hendaklah ia mempersilahkan orang lain terlebih dahulu untuk mengambil makanan sebagai penghormatan bagi mereka. Hindari mengucapkan, “Silahkan makan!” kepada orang lain, atau pun ucapan, “Mari makan bersama kami,” kepada tuan rumah. Dan jika ia dipersilahkan untuk duduk disuatu tempat, maka janganlah ia berpindah dari tempat itu.
Saat makan, hendaknya ia tidak mengambil makanan yang terletak jauh dari tangannya, dan jika dituangkan air minum kedalam gelasnya, maka jangan lah ia menolaknya, melainkan menerimanya walaupun seteguk (sedikit). Jangan pula ia terburu-buru untuk menyudahi makannya sementara yang lain masih makan. Dan hendaklah ia tidak menjadikan makan itu sebagai tujuan, melainkan hanya sekedar menopang hidupnya agar ia bisa berbuat taat kepada Allah.
Terhadap sesama orang fakir pun ia harus bersikap baik dan tidak berbuat semena-mena. Janganlah ia sampai menghalangi mereka dari pertolongannya, sekecil apa pun. Dan jangan pula menyuruh-nyuruh mereka demi keperluannya sendiri, melainkan hendaklah ia melaksanakannya sendiri. Jika ia berjanji untuk memberikan makanan kepada mereka, maka janganlah ia menunda-nunda janjinya itu, karena itu akan mengecewakan mereka. Ketika makan bersama mereka, hendaklah ia mempersilahkannya terlebih dahulu sebelum dirinya. Dan banyak lagi adab-adab lain yang harus diperhatikannya, yang cukup panjang untuk dijelaskan semuanya.
Dan disamping itu semua, hendaklah ia menyadari bahwa jika ia benar-benar bertakwa kepada Allah, bersabar atas kekurangan di dunia dan mengerahkan segenap jiwa, harta, dan keluarganya kepada-Nya, melaksanakan segala perintah dan menjauhi larang-Nya, dan menggantungkan dirinya serta berharap kepada-Nya semata, maka sesungguh ia telah berada di dalam kemuliaan, dan dihari kemudian nanti Allah SWT akan menjaganya serta memberi kebaikan yang banyak baginya. Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya penghuni surga pada hari itu bersenang-senang dalam kesibukan [mereka],” (QS. Yasin [36]: 55) “Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang Mukmin akan diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka,” (QS. At-Taubah [9]: 111) “..... Itulah yang terbaik bagi orang-orang yang mencari keridhaan Allah...,” (QS. Ar-Rum [30]: 38) dan, “Seorang pun tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka yaitu [bermacam-macam nikmat] yang menyedapkan pandangan mata sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. As-sajdah [32]: 17).
Allah SWT, dalam beberapa kitab-Nya yang terdahulu, berfirman, “Aku menyukai hamba yang merindukan-Ku tanpa berharap apa-apa dari-Ku, sehingga menjadi haknya-lah penjagaan dari-Ku”.
Juga dalam sebuah hadits qudsi, Allah SWT berfirman, “Aku telah menjanjikan kepada hamba-hamba-Ku yang shaleh suatu kenikmatan yang tidak pernah terlihat oleh pandangan mata, tidak pernah terdengar oleh telinga, dan tidak pernah terbesit di hati mereka”. []
Diambil dari buku “Wasiat terbesar sang guru besar / asy-Syaikh ‘abdul Qadir al-jilani” dengan judul asli “Al-Ghuniyyah li Thalibi Thariq al-Haq”.
Penerjemah, Abad Badruzzaman & Nunu Burhanuddin;
penyunting Tim Sahara
Seyogyanya orang fakir menyukai kefakirannya sebagaimana orang kaya yang menyukai kekayaannya, dan hendaknya ia berusaha semaksimal mungkin untuk mempertahankan kefakirannya itu seperti berusahanya orang kaya semaksimal mungkin agar kekayaannya tidak lenyap. Janganlah ia sampai berdoa kepada Allah Swt agar dilepaskan darinya.
Lebih baik ia merasa puas dengan apa yang ada padanya dan tidak berambisi untuk medapatkan lebih dari itu, jika memang yang ada itu sudah cukup membuat dirinya mampu berbuat taat kepada Allah serta terhindar dari kematian. Apa yang ada itu harus ia mamfaatkan, dan tidak boleh ia tinggalkan. Sebab, haram baginya untuk tidak memenihi hak dirinya sendiri, seperti makan, pakaian dan lain-lain. Firman Allah, “dan janganlah kalian membunuh diri sendiri; sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. An-Nisa’[4]: 29)
Hendaklah ia tidak menyesali nasib yang menimpa dirinya itu, malainkan menerimanya dengan ridha kepada Allah, karena Dia lah yang menakdirkan hal itu baginya. Nikmati-lah kefakiran itu melebihi orang kaya menikmati kekayaannya.
Ia juga harus tegar menghadapi kesulitan hidupnya. Sebab, semakin kurang materi padanya, maka semakin banyaklah kebaikan pada jiwanya, di samping semakin besar pula keberuntungannya lantaran dengan kefakirannya itu akan bisa mengantarkan kapada derajat keshalehan di sisi Allah. Sebaliknya, jika ia menghadapinya dengan berkeluh kesah dan kecewa, berdosalah ia kepada Allah lantaran tidak ridha kepada-Nya, dan haruslah ia cepat-cepat bertobat kepada-Nya serta memohon ampunan-Nya.
Jika ia mempunyai tanggungan (keluarga/anak), maka semakin banyak tanggungannya, semakin kuat jua-lah hendaknya keyakinannya terhadap Allah SWT. Hendaklah ia berhati-hati dari cara-cara yang terlarang dalam mencari kehidupan buat mereka, dan tetap meyakini bahwa janji-janji Allah SWT terhadapnya adalah benar, dimana rezeki mereka itu pasti akan datang kepada mereka, baik melalui tangannya sendiri maupun orang lain. Jadi, ia tidak perlu berkeluh kesah menghadapinya, apalagi sampai menyalahkan Tuhan, melainkan menganggapnya sebagai sebuah ujian dari-Nya, agar ia selalu ingat dan meminta tolong serta menggantungkan diri kepada-Nya. Dan ini amat disukai oleh-Nya, dan ia akan mendapat kebaikan yang banyak karenanya, baik di dunia ini apalagi diakhirat kelak.
Ia juga harus senantiasa optimis dalam menjalani kehidupan ini dengan tetap berusaha semaksimal mungkin. Kewajibannya hanyalah menaati Allah SWT dalam usaha tersebut, adapun mengenai hasilnya serahkan kepada-Nya karena Dia-lah yang tahu apa yang terbaik baginya. Dengan demikian ia tidak akan pernah berputus asa menghadapi kehidupan ini atau menyalahkan diri sendiri dan orang lain.
Di samping itu, ia harus senantiasa bersiap-siap menghadapi ajalnya agar ia semakin ridha terhadap-Nya dan semakin kuat dan sabar menanggung segala penderiataannya. Sebab, dengan mengingat mati, segala ambisi duniawi akan memudar sebagaimana Rasulullah Saw mengatakan, “Perbanyaklah mengingat pelenyap berbagai (ambisi duniawi yang mendatangkan) kenikmatan, yakni kematian.” Ia juga harus bersikap wara` (tidak tamak) sehingga tidak terangsang untuk melakukan hal-hal yang dilarang oleh syari`at. Dengan sikap wara` ini, ia akan selamat dari hal-hal yang dapat merusak agama dan harga dirinya. Orang-orang shaleh berkata, “orang-orang fakir yang tidak wara` pasti terjerumus kepada perbuatan haram, tanpa disadarinya”.
Janganlah ia meminta-minta kepada orang lain kecuali dalam keadaan terpaksa; kalaupun terpaksa, haruslah memintanya sekedar kebutuhannya, tidak lebih.
Jika orang itu memberinya, maka hendaklah ia segera menyadari sebenarnya Allah-lah yang memberinya, sedangkan orang tersebut hanyalah sekedar penyalur saja, yang diberikan amanah oleh Allah SWT untuk menyimpan rezekinya pada orang itu. Sehingga, ia tidak akan mendewa-dewakan orang itu.
Dalam meminta kepada orang lain, haruslah diniatkannya sekedar memberitahuan kepadanya tentang kesusahan yang sedang dialaminya, bukan untuk mengadu atau meminta belas kasihan darinya, karena hal itu hanyalah diperuntukan bagi Allah SWT.
Jika orang itu memberinya, maka hendaklah ia berterima kasih kepadanya. Namun jika ia menolaknya, hendaklah ia bersabar dan mengembalikan urusannya kepada Allah sambilo memohon kemudahan dan kelapangan kepada-Nya; jangan sampai ia membalasnya dengan sikap yang tidak baik, seperti mengeluarkan kata-kata yang tidak enak didengar, menampakkan muka masam kepadanya, dan lain-lain. Beginilah sifat yang benar dari seorang fakir.
Kalau ia menghadiri sebuah jamuan makan, maka hendaklah ia mempersilahkan orang lain terlebih dahulu untuk mengambil makanan sebagai penghormatan bagi mereka. Hindari mengucapkan, “Silahkan makan!” kepada orang lain, atau pun ucapan, “Mari makan bersama kami,” kepada tuan rumah. Dan jika ia dipersilahkan untuk duduk disuatu tempat, maka janganlah ia berpindah dari tempat itu.
Saat makan, hendaknya ia tidak mengambil makanan yang terletak jauh dari tangannya, dan jika dituangkan air minum kedalam gelasnya, maka jangan lah ia menolaknya, melainkan menerimanya walaupun seteguk (sedikit). Jangan pula ia terburu-buru untuk menyudahi makannya sementara yang lain masih makan. Dan hendaklah ia tidak menjadikan makan itu sebagai tujuan, melainkan hanya sekedar menopang hidupnya agar ia bisa berbuat taat kepada Allah.
Terhadap sesama orang fakir pun ia harus bersikap baik dan tidak berbuat semena-mena. Janganlah ia sampai menghalangi mereka dari pertolongannya, sekecil apa pun. Dan jangan pula menyuruh-nyuruh mereka demi keperluannya sendiri, melainkan hendaklah ia melaksanakannya sendiri. Jika ia berjanji untuk memberikan makanan kepada mereka, maka janganlah ia menunda-nunda janjinya itu, karena itu akan mengecewakan mereka. Ketika makan bersama mereka, hendaklah ia mempersilahkannya terlebih dahulu sebelum dirinya. Dan banyak lagi adab-adab lain yang harus diperhatikannya, yang cukup panjang untuk dijelaskan semuanya.
Dan disamping itu semua, hendaklah ia menyadari bahwa jika ia benar-benar bertakwa kepada Allah, bersabar atas kekurangan di dunia dan mengerahkan segenap jiwa, harta, dan keluarganya kepada-Nya, melaksanakan segala perintah dan menjauhi larang-Nya, dan menggantungkan dirinya serta berharap kepada-Nya semata, maka sesungguh ia telah berada di dalam kemuliaan, dan dihari kemudian nanti Allah SWT akan menjaganya serta memberi kebaikan yang banyak baginya. Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya penghuni surga pada hari itu bersenang-senang dalam kesibukan [mereka],” (QS. Yasin [36]: 55) “Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang Mukmin akan diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka,” (QS. At-Taubah [9]: 111) “..... Itulah yang terbaik bagi orang-orang yang mencari keridhaan Allah...,” (QS. Ar-Rum [30]: 38) dan, “Seorang pun tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka yaitu [bermacam-macam nikmat] yang menyedapkan pandangan mata sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. As-sajdah [32]: 17).
Allah SWT, dalam beberapa kitab-Nya yang terdahulu, berfirman, “Aku menyukai hamba yang merindukan-Ku tanpa berharap apa-apa dari-Ku, sehingga menjadi haknya-lah penjagaan dari-Ku”.
Juga dalam sebuah hadits qudsi, Allah SWT berfirman, “Aku telah menjanjikan kepada hamba-hamba-Ku yang shaleh suatu kenikmatan yang tidak pernah terlihat oleh pandangan mata, tidak pernah terdengar oleh telinga, dan tidak pernah terbesit di hati mereka”. []
Diambil dari buku “Wasiat terbesar sang guru besar / asy-Syaikh ‘abdul Qadir al-jilani” dengan judul asli “Al-Ghuniyyah li Thalibi Thariq al-Haq”.
Penerjemah, Abad Badruzzaman & Nunu Burhanuddin;
penyunting Tim Sahara
2 komentar:
menyejukkan dan mengingatkan bro artikelnya
Postingan di sini banyak yang bermanfaat ya. Terus berbagi ya mas.
Posting Komentar