Kamis, 13 Oktober 2011

Contoh Kekeliruan Bertawakal

Dalam ranah praktek, banyak terjadi kerancuan dan penyimpangan dalam bertawakal. menurut Ibnu Qayyim Al-Jauziah dalam madariju al-salikin, kerancuan dan penyimpangan tersebut antara lain:
  1. Memaknai kepasrahan sebagai penyia-nyiaan. yakni membuang kesempatan dengan tidak berbuat apa-apa, bahkan malah menganggap sikap diam sebagai bentuk kepasrahan dan tawakal yang sempurna. menyia-nyiakan itu hak Allah, sedangkan kepasrahan adalah hak manusia.
  2. Mengartikan tawakan dengan kesantaian dan keengganan memikul beban, dengan menyakini bahwa tindakan itu merupakan wujud nyata dari tawakal. Padahal orang bertawakal hamba yang rajin bekerja. Tandanya, dia giat berusaha dan memanfaatkan segala peluang yang terbentang di depan mata. sementara, orang malas hanya bekerja sebatas mencukupi kebutuhan hidup dan memenuhi tuntutan syariat saja.
  3. Menganggap sama antara mengabaikan peluang dan menutup peluang. mengabaikan peluang masih berada diwilayah tauhid, sedangkan menutup peluang sudah berada diwilayah kekafiran. mengabaikan peluang berarti tidak menyadarkan hati, tidak bergantung dan tidak mengandalkan peluang tersebut. tetapi, menutup peluang berarti membuat anggota badan diam dan pasrah.
  4. Menganggap sama antara keyakinan atas rahmat Allah SWT, dan kepasrahan. padahal orang yang meyakini rahmat Allah pasti melaksanakan pertintah-Nya, baru kemudian memasrahkan urusan hasil kepada-Nya. dia menabur benih dan mengairi ladang terlebih dahulu, baru kemudian memasrahkan urusan hasil panen kepada-Nya. sementara, orang yang salah dalam memasrahkan diri adalah mereka yang diam lalu berharap Allah akan memberi mereka hasil . ingat, keyakinan atas rahmat ini hanya bisa dibenarkan setelah anda berusaha.
  5. Menganggap sama antara ketenteraman bersandar kepada Allah dengan bersandar kepada sesuatu selain-Nya. hanya orang cerdas yang bisa membedakan kedua jenis ketergantungan ini. sayangnya, tanpa sadar, kebanyakan mutawakil bersandar kepada sesuatu, kemudian merasa dirinya sudah bertawakal kepada Allah. tandanya, tatkala sesuatu itu habis atau sirna, timbul rasa takut dan gelisah dalam hati orang tersebut. contohnya, terkandung dalam kisah Abu Sulaiman al-Darani, ketika beberapa hari dia melihat seorang laki-laki di Mekah tidak mengonsumsi apa pun selain air zam-zam. Abu sulaiman bertanya kepadanya, "bagaimana pendapat mu, jika sumur zam-zam ini kering? apa yang akan engkau minum?" orang itu langsung berdiri, mencium kening abu sulaiman dan berkata, "semoga Allah membalas kebaikan mu karena engkau telah memberi ku petunjuk. karena sungguh, aku telah menyembah zam-zam selama beberapa hari ini." selesai berkata demikian, laki-laki itu pun pergi.
  6. Menganggap sama antara rida kepada Allah atas semua perbuatan-Nya kepada mahluk dengan keingginan untuk meraih rida-nya. ini adalah dua hal yang berbeda. contohnya perkataan Abu sulaiman, "aku mengharap mendapatkan setitik keridaan Allah. kalau sudah kudapatkan, aku tidak peduli lagi meskipun dimasukkan ke dalam api neraka."
  7. Menganggap sama antara pengetahuan tentang tawakal dengan kondisi orang yang bertawakal. banyak orang yang mengetahui pengertian, makna serta hakikat tawakal, kemudian menyangka dirinya sudah bertawakal. padahal, pengetahuan tidaklah sama dengan praktik. sama halnya dengan orang yang tahu pengertian, cara, serta etika mencintai Allah SWT. kita yang sekedar tahu berbeda dengan orang-orang yang memang dibuai rasa cinta kepada-Nya. sama pula dengan orang yang sakit yang tahu rasanya sehat. bukankah ia tetap sakit kendati pernah merasakan sehat.
Sumber: Terapi Tawakal (oleh 10 Ulama Klasik Psikologi) Penerjemah Luqman Junaidi, 2011. Ahsan Books

Tidak ada komentar: