Oleh: Akmal Sjafril ST, MPdI
assalaamu'alaikum wr. wb.
Ketika menjelaskan tentang bukti-bukti keberadaan Tuhan, Buya Hamka
tidak
merasa perlu berpanjang-panjang dalam penjelasannya, padahal beliau
dikenal
sebagai ulama-sastrawan yang piawai merangkai kata. Menurutnya,
keberadaan
Tuhan itu terlalu mudah untuk dipahami oleh manusia, siapa pun dia,
sehingga
tak perlu dibuktikan kembali. Apa yang sudah terang tak perlu
diterang-terangkan lagi. Pengakuan akan keberadaan Tuhan adalah suatu
hal
yang sudah terintegrasi dalam jiwa manusia. Yang jadi masalah justru
jika
manusia ngotot hendak meng-uninstall program yang sudah dipasang sejak
dahulu kala dalam dirinya (QS Al A’raf: 172).
Dari sekian banyak manusia keras kepala yang mengingkari dirinya sendiri
ini, tidak ada satu pun yang berhasil sepenuhnya. Ustadz Rahmat Abdullah
rahimahullaah pernah menceritakan tentang seorang mahasiswa yang sepenuh
hatinya merasa bangga dengan ateisme yang dijadikannya sebagai prinsip
hidup. Tuhan itu tak berwujud, katanya. Tuhan itu hanya ada dalam khayal
manusia, katanya. Tapi dalam sebuah demonstrasi menuntut reformasi,
ketika
peluru berdesingan di atas kepalanya, ia tiarap juga sambil berteriak,
“Ya
Tuhan!” Ternyata pengakuan terhadap Tuhan belum berhasil ia buang dalam
recycle bin hatinya.
Pada akhirnya, kematian adalah pembuktian yang paling nyata. Biarpun
sudah
menolak Tuhan dengan berapi-api dan mengklaim bahwa hidupnya adalah
miliknya
sendiri, toh akhirnya semua manusia menemui ajal juga. Suka tidak suka,
semua akan mengalaminya. Boleh seenaknya di dunia, tapi akhirnya diseret
juga ke akhirat.
Pasti ada juga yang menolak argumen ini. Kematian hanya membuktikan
bahwa
masa hidup manusia telah habis. Tak ada bukti jiwa manusia pergi ke
suatu
alam yang lain dengan alam dunia ini. Tak ada bukti bahwa Tuhan itu ada.
Setelah hidup hanya ada kematian, dan di seberang kematian hanya ada
ketiadaan.
Penyangkalan (denial) semacam ini tidaklah melukai siapa pun selain
dirinya
sendiri. Berusaha meng-uninstall program yang menjadi pondasi dari jiwa
kita
ibarat tanaman yang mencabut akarnya sendiri. Tak bisa membuang
programnya,
maka jiwanya sendirilah yang dicampakkan.
Tidak seorang pun manusia yang sungguh-sungguh percaya bahwa Tuhan itu
tidak
ada. Tidak Nietzsche (“God is dead”), tidak Karl Marx (“Religion is
opium
for the people”), tidak juga Fir’aun (“Aku tidak mengetahui tuhan bagimu
selain aku.”). Ketika ombak hampir menelan tubuhnya, Fir’aun pada
akhirnya
dipaksa mengaku juga bahwa ia hanyalah tulang, darah, daging, kulit, dan
rambut. Sayangnya, penyesalan selalu datang terlambat. Meski sudah ke
mana-mana mendakwakan bahwa Tuhan telah mati, pada akhirnya Nietzsche
juga
yang mati. Marx, yang punya ‘misi suci’ membebaskan umat manusia dari
‘opium’ yang membelenggu hidup mereka, pada akhirnya mati juga,
sementara
mereka yang beriman tetap saja beriman. Merekalah contoh manusia yang
gagal
menulis ulang program dirinya, karena sejak awal mereka memang tidak
mengenal kode program yang sesuai.
Tidak ada seorang manusia pun yang sungguh-sungguh beriman akan
ketiadaan.
Pada hakikatnya semua manusia diciptakan dengan ego yang pasti akan
menolak
klaim bahwa dirinya tidak lebih daripada seekor hewan yang hidup tanpa
tujuan pasti selain makan, berkembang biak dan bertahan hidup. Tak ada
juga
manusia yang mau menyamakan dirinya dengan benda mati yang tercipta dan
hancur tanpa konsekuensi bagi dirinya sendiri. Kematianlah yang memberi
makna pada kehidupan, dan kehidupan sesudah matilah yang memberi makna
pada
kematian.
Mereka yang percaya bahwa kematian itu ada, tapi kehidupan sesudah mati
itu
tidak ada, akan menjalani kehidupan dengan cara yang berbeda dengan kaum
yang beriman. Jika kehidupan di dunia ini adalah satu-satunya yang
mereka
miliki, amboi betapa kacaunya dunia ini. Tak ada kebaikan, tak ada
kemurahan
hati, tak ada yang saling menolong, tak ada yang saling mendahulukan,
dan
tak ada yang saling mencintai. Semua orang hidup untuk dirinya
sendiri-sendiri, memenuhi syahwat perut dan kelaminnya. Mereka memandang
orang lain sebagai alat untuk memenuhi kebutuhannya sendiri; jika tak
lagi
berguna, maka siapa pun bisa disingkirkan. Demikianlah peradaban manusia
yang ‘tanpa tuhan’.
Dalam peradaban paling biadab sekalipun, iman kepada Tuhan dan kehidupan
akhirat masih tetap ada. Itulah yang menjaga manusia dari perilaku keji
dan
haus darah. Jika Allah subhanahu wa ta’ala tidak meng-install program
yang
terkoneksi langsung dengan-Nya dalam diri kita (dan juga menciptakan
program
lain yang mencegah siapa pun untuk meng-uninstall-nya), maka manusia
sudah
sejak dulu punah karena saling bunuh. Sementara binatang yang hanya
punya
syahwat tanpa akal saja jika terjepit bisa menjadi kanibal, apalagi
manusia
yang bukan hanya punya syahwat, tapi juga punya akal. Hewan buas yang
kanibal hanya akan memangsa sesuai kapasitas lambungnya, sementara
manusia
yang ‘kanibal’ akan menciptakan kulkas untuk menyimpan korban-korbannya
dalam jumlah banyak dan museum untuk memamerkan tulang-belulangnya.
Benarlah apa yang dikatakan oleh Buya Hamka. Beriman kepada Allah itu
adalah
hal yang terlalu terang untuk diterang-terangkan. Justru penolakan
terhadap-Nya itulah yang begitu rumit untuk dijelaskan. Itulah sebabnya
mereka yang keras kepala menolak Allah disebut “kafir” yang artinya
“ingkar”. Mereka tak dapat mengubah kenyataan, melainkan hanya
mengingkarinya saja.
Tulisan ini juga di posting oleh saudara satriyo
wassalaamu'alaikum wr. wb.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar